Kolom  

Hoegeng, Manusia Biasa Menjadi Luar Biasa. Yogya: Kasus Sum Kuning

3. IMAN SANTOSO HOEGENG

Oleh: Suryadi & Helsi Dinafri

Suryadi, Wasekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)/Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian (PUSKOMPOL). Helsi Dinafri, Praktisi Komunikasi.

Di masa Hoegeng Kapolri, selain peristiwa-peristiwa kriminal lain di Tanah Air, setidaknya ada empat “catatan besar” yang cukup mengundang perhatian publik. Keempatnya tercium “melawan arus” atau mungkin Hoegeng dengan kebijakannya dianggap telah “mendahului” penguasa Orba yang “powerfull” saat itu: 

Pertama, perkosaan perempuan muda “bakul” telur, Sum (17), di Yogyakarta yang populer dengan “Kasus Sum Kuning” (21 September 1970).

Kedua, pengungkapan penyelundupan besar-besaran mobil mewah oleh Sie Tjia It alias Robby Tjahjadi, di Jakarta. Terkait penyelundupan ini, suatu ketika Hoegeng urung melapor kepada “Bapak Presiden”, setelah melihat Robby baru saja keluar dari kediaman Soeharto. Pada perkembangannya, Pengadilan memvonis Robby 10 tahun penjara plus denda dan barang-barang terkait kejahatannya disita. Robby dijatuhi hukuman karena perbuatannya, sementara Tempo menulis, konon kasus ini merupakan salah satu alasan Hoegeng tak disukai dan dipecat sebagai Kapolri (Yusra dan Ramadhan, 1993: 323)

Ketiga, maklumat Hoegeng (2 Agustus 1971) tentang wajib menggunakan helm bagi pengendara sepeda motor dan yang membonceng harus duduk mengangkang (lihat Awaloedin dkk., 2007: 390). Walau tak mendapat sahutan positif dari Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) yang membawahkan Polri waktu itu, “warisan” Hoegeng ini tetap diterapkan hingga kini. Manfaat penggunaan helm pun dapat dirasakan efektif, khususnya dari kemungkinan lebih parahnya pengendara sepeda motor ketika mengalami kecelakaan. Di banyak negara maju, penggunaan helm juga sudah sejak lama berlaku hingga kini.

Keempat, peristiwa Bentrok Taruna Akabri Bagian Kepolisian dengan mahasiswa ITB (6 Oktober 1970) usai pertandingan sepakbola persahabatan di Bandung, yang dimenangi oleh mahasiswa ITB. Seorang mahasiswa ITB, Rene Coenraad, meninggal tertembak dalam bentrok di sekitar Jalan Ganesa sekitar lokasi kampus ITB itu. Pengadilan tingkat pertama yang berjalan secara marathon dalam sebulan, memvonis lima tahun delapan bulan Brigadir Tk. II Dj. Tetapi, Pengadilan Tinggi Kepolisian (banding) menilai ia telah lalai sehingga peluru senjata api dinasnya menyalak dan menyasar ke Coenraad. Segera Dj bebas karena masa tahanan yang telah dilaluinya sama dengan vonis banding, satu tahun enam bulan.

Ia tak dipecat dan kembali bertugas di Brimob. Sebenarnya, banyak kontroversi selama persidangan, terutama tentang sejumlah kesaksian yang patut digali lebih dalam, terutama tentang hasil visum terhadap korban yang dihubungkan dengan dua jenis kaliber peluru yang meletus saat kejadian. Terdakwa lainnya, delapan taruna, yang diadili terpisah setelah menjadi letnan polisi, sekitar tiga tahun setelah peristiwa bentrok tersebut, mendapat vonis “menggembirakan” (socio-politica.com. December,3, 2009). Mereka rata-rata kini berusia di atas 70 tahun dan sudah purna tugas.

Dari keempat “catatan besar” tersebut, adalah peristiwa “Sum Kuning” yang dibahas dalam tulisan ini. Perkara ini cukup menguras perhatian publik, selain juga menjadi semacam “penanda” akhir dari karir polisi Hoegeng. Tragis memang. Di saat Hoegeng bekerja keras hendak menguak ketidakberesan dibalik upaya menjadikan Sum terdakwa “pemberi keterangan palsu” di pengadilan, justru “Bapak Presiden” menginstruksikan kasus itu ditangani Kopkamtib/Teperpu (Tim Pemeriksa Pusat).

Instruksi “Bapak Presiden” tersebut makin menegaskan kasus hukum kasus hukum Sum Kuning ditarik ke ranah politik. Selama Orba berkuasa di bawah Soeharto, Kopkamtib sudah menangani kasus-kasus terindikasi (politik) menentang penguasa. Misalnya, terhadap orang atau kelompok yang terindikasi PKI atau di-komuniskan, selain juga yang oleh Orba dinilai ekstrem. Sampai-sampai (cuma) di Indonesia ada semacam “terminologi” pidana politik dalam pemidanaan.

Seperti diketahui, nama anak-anak petinggi Yogyakarta termasuk anak Danrem/ Pahlawan Revolusi alm. Brigjen TNI (Anumerta) Katamso terseret-seret dalam Kasus Sum Kuning. Tetapi, berpuluh tahun kemudian, hingga kini, hasil akhir pengadilan yang pernah digelar malah menyisakan tanda tanya besar, karena baik mulai dari tingkat penyidikan sampai kepada jalannya sidang pengadilan, tercium tajam telah diskenariokan lebih dulu.

Media Beberkan Kasus Sum Kuning

BERUNTUNG cerita-cerita tentang Sum Kuning masih dapat diikuti dari serangkaian pemberitaan yang dilansir oleh koran-koran Yogyakarta dan Majalah Berita Mingguan (MBM) “Tempo”. Kemudian, disadur dan diadaptasi oleh sejumlah buku, seperti “Sum Kuning: Korban Pemerkosaan” (Kamajaya dkk.,1971), dan “Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa” (HOMTPKPPB, 2009). Selain itu juga sekilas pandangan dan sikap Hoegeng tentang domain polisi, yang sudah seharusnya berada di luar mililiter dalam “HPIK” (1993).

 Wartawan “Pelopor Jogja”, Slamet Djabarudi yang korannya banyak melansir pemberitaan berdasarkan pengakuan korban, sempat ditahan oleh Kepolisian Yogya. Alasannya, Slamet sudah dua kali tidak memenuhi panggilan. Menurut Komandan Polisi Yogyakarta waktu itu, AKBP Indrajoto, ia terus saja menyudutkan polisi. Empat kali Slamet menghantam habis-habisan Polisi Yogya. Indra juga membantah pemberitaan bahwa polisi telah meremas-remas buah dada koban. Toh “Kasus Sum Kuning” makin mendapat perhatian besar dari publik di Tanah Air. Polisi baru membebaskan Slamet dari tahanan menyusul aksi protes kalangan pers dan pegiat budaya (Santoso, 2009, 92).

Pada perkembangan selanjutnya, makelar mobil Bud, yang ditangkap oleh polisi mengaku, bahwa ia bersama tiga orang lainnya, telah memerkosa Sum. Dalam buku ”HOMTPKPPB” yang mengutip Tempo (2/10/1971) disebutkan, Bud pada 21 September 1971 sedang nongkrong di Maliobro ketika M (putra alm. Katamso) mendatanginya dengan mengendara mobil. Bud ditanya “Apakah rencana mereka jadi?”

Kemudian, Bud dan M menjemput Agl, putra Pakualam dan seorang teman lagi, Ism. Selanjutnya, mereka pergi dan di perjalanan (hari sudah malam) melihat seorang perempuan bediri di tepi jalan. Agaknya, ia tengah menunggu angkutan umum. Mereka setop dan memaksa perempuan yang belakangan diketahui adalah penjual telur bernama Sum itu, masuk ke dalam mobil. Perkosaan pun terjadi di atas mobil (Santoso, 2009: 93). Sejumlah uang hasil Sum berjualan telur, juga diambil oleh para pelaku.

Usai memerkosa, di perjalanan Sum diturunkan. Susah payah, korban bangkit dan berjalan mencari pertolongan. Setelah mendapat pertolongan, ia mengadu ke polisi telah diperkosa oleh empat pemuda berambut gondrong di dalam sebuah mobil. Hasil visum dokter menyebutkan, alat kelamin Sum mengalami perdarahan, selaput daranya robek, dan paha kanan – kirinya luka. Jelas ini menunjukkan tanda-tanda bahwa ia memang telah digagahi secara paksa. Lucunya, empat hari setelah dirawat, ketika keluar dari rumah sakit, polisi malah menangkap dan menjadikannya tersangka.

Terkait pengakuan Bud tentang ia bersama tiga temannya yang memerkosa Sum, koran-koran gencar memberitakannya sehingga jadi pembicaraan masyarakat. Tetapi, seperti seperti kutip Kompas (19/1/1971), Pakualam yang juga Wakil Gubernur Yogyakarta membantah keras tentang keterlibatan anaknya: “Berita itu sama sekali tidak nyata. Itu overbodig (berlebihan).” **

 Hoegeng Kapolri, selain peristiwa-peristiwa kriminal lain di Tanah Air, setidaknya ada empat “catatan besar” yang cukup mengundang perhatian publik. Keempatnya tercium “melawan arus” atau mungkin Hoegeng dengan kebijakannya dianggap telah  “mendahului” penguasa Orba yang “powerfull” saat itu:

Pertama, perkosaan perempuan muda “bakul” telur, Sum (17), di Yogyakarta yang populer dengan “Kasus Sum Kuning” (21 September 1970).

Kedua, pengungkapan penyelundupan besar-besaran mobil mewah oleh Sie Tjia It alias Robby Tjahjadi, di Jakarta. Terkait penyelundupan ini, suatu ketika Hoegeng urung melapor kepada “Bapak Presiden”, setelah melihat Robby baru saja keluar dari kediaman Soeharto. Pada perkembangannya, Pengadilan memvonis Robby 10 tahun penjara plus denda dan barang-barang terkait kejahatannya disita. Robby dijatuhi hukuman karena perbuatannya, sementara Tempo menulis, konon kasus ini merupakan salah satu alasan Hoegeng tak disukai dan dipecat sebagai Kapolri (Yusra dan Ramadhan, 1993: 323)

Ketiga, maklumat Hoegeng (2 Agustus 1971) tentang wajib menggunakan helm bagi pengendara sepeda motor dan yang membonceng harus duduk mengangkang (lihat Awaloedin dkk., 2007: 390). Walau tak mendapat sahutan positif dari Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) yang membawahkan Polri waktu itu, “warisan” Hoegeng ini tetap diterapkan hingga kini. Manfaat penggunaan helm pun dapat dirasakan efektif, khususnya dari kemungkinan lebih parahnya pengendara sepeda motor ketika mengalami kecelakaan. Di banyak negara maju, penggunaan helm juga sudah sejak lama berlaku hingga kini.
Keempat, peristiwa Bentrok Taruna Akabri Bagian Kepolisian dengan mahasiswa ITB  (6 Oktober 1970) usai pertandingan sepakbola persahabatan di Bandung, yang dimenangi oleh mahasiswa ITB. Seorang mahasiswa ITB, Rene Coenraad, meninggal tertembak dalam bentrok di sekitar Jalan Ganesa sekitar lokasi kampus ITB itu. Pengadilan tingkat pertama yang berjalan secara marathon dalam sebulan, memvonis lima tahun delapan bulan Brigadir Tk. II Dj. Tetapi, Pengadilan Tinggi Kepolisian (banding) menilai ia telah lalai sehingga peluru senjata api dinasnya menyalak dan menyasar ke Coenraad. Segera Dj bebas karena masa tahanan yang telah dilaluinya  sama dengan vonis banding, satu tahun enam bulan.

Ia tak dipecat dan kembali bertugas di Brimob. Sebenarnya, banyak kontroversi selama persidangan, terutama tentang sejumlah kesaksian yang patut digali lebih dalam, terutama tentang hasil visum terhadap korban yang dihubungkan dengan dua jenis kaliber peluru yang meletus saat kejadian. Terdakwa lainnya, delapan taruna, yang diadili terpisah setelah menjadi letnan polisi, sekitar tiga tahun setelah peristiwa bentrok tersebut, mendapat vonis “menggembirakan” (socio-politica.com. December,3, 2009).  Mereka rata-rata kini berusia di atas 70 tahun dan sudah purna tugas.

Dari keempat “catatan besar” tersebut, adalah peristiwa “Sum Kuning”  yang dibahas dalam tulisan ini. Perkara ini cukup menguras perhatian publik, selain juga menjadi semacam “penanda” akhir dari karir polisi Hoegeng. Tragis memang. Di saat Hoegeng bekerja keras hendak menguak ketidakberesan dibalik upaya menjadikan Sum terdakwa “pemberi keterangan palsu” di pengadilan, justru “Bapak Presiden” menginstruksikan kasus itu ditangani Kopkamtib/Teperpu (Tim Pemeriksa Pusat).

Instruksi “Bapak Presiden” tersebut makin menegaskan kasus hukum kasus hukum Sum Kuning ditarik ke ranah politik. Selama Orba berkuasa di bawah Soeharto, Kopkamtib sudah  menangani kasus-kasus terindikasi (politik) menentang  penguasa. Misalnya, terhadap orang atau kelompok yang terindikasi PKI atau di-komuniskan, selain juga yang oleh Orba dinilai ekstrem. Sampai-sampai (cuma) di Indonesia ada semacam “terminologi” pidana politik dalam pemidanaan.

Seperti diketahui, nama anak-anak petinggi Yogyakarta termasuk anak Danrem/ Pahlawan Revolusi alm. Brigjen TNI (Anumerta) Katamso terseret-seret dalam Kasus Sum Kuning. Tetapi, berpuluh tahun kemudian, hingga kini, hasil akhir pengadilan yang pernah digelar malah menyisakan tanda tanya besar, karena baik mulai dari tingkat penyidikan sampai kepada jalannya sidang pengadilan, tercium tajam telah diskenariokan lebih dulu.

Media Beberkan Kasus Sum Kuning
BERUNTUNG cerita-cerita tentang Sum Kuning masih dapat diikuti dari serangkaian pemberitaan yang dilansir oleh koran-koran Yogyakarta dan Majalah Berita Mingguan (MBM) “Tempo”. Kemudian, disadur dan diadaptasi oleh sejumlah buku, seperti “Sum Kuning: Korban Pemerkosaan” (Kamajaya dkk.,1971), dan “Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa” (HOMTPKPPB, 2009). Selain itu juga sekilas pandangan dan sikap Hoegeng tentang domain polisi, yang sudah seharusnya berada di luar mililiter  dalam “HPIK” (1993).

Wartawan “Pelopor Jogja”, Slamet Djabarudi yang korannya banyak melansir pemberitaan berdasarkan pengakuan korban, sempat ditahan oleh Kepolisian Yogya. Alasannya, Slamet sudah dua kali tidak memenuhi panggilan. Menurut Komandan Polisi Yogyakarta waktu itu, AKBP Indrajoto, ia terus saja menyudutkan polisi. Empat  kali Slamet menghantam habis-habisan Polisi Yogya. Indra juga membantah pemberitaan bahwa polisi telah meremas-remas buah dada koban. Toh “Kasus Sum Kuning” makin mendapat perhatian besar dari publik di Tanah Air. Polisi baru membebaskan Slamet dari tahanan menyusul aksi protes kalangan pers dan pegiat budaya (Santoso, 2009, 92).

Pada perkembangan selanjutnya, makelar mobil Bud, yang ditangkap oleh polisi mengaku, bahwa ia bersama tiga orang lainnya, telah memerkosa Sum. Dalam buku ”HOMTPKPPB” yang mengutip Tempo (2/10/1971) disebutkan, Bud pada 21 September 1971 sedang nongkrong di Maliobro ketika M (putra alm. Katamso) mendatanginya dengan mengendara mobil. Bud ditanya “Apakah rencana mereka jadi?”

Kemudian, Bud dan M menjemput Agl, putra Pakualam dan seorang teman lagi, Ism. Selanjutnya, mereka pergi dan di perjalanan (hari sudah malam) melihat seorang perempuan bediri di tepi jalan. Agaknya,  ia tengah menunggu angkutan umum. Mereka setop dan memaksa perempuan yang belakangan diketahui adalah penjual telur bernama Sum itu, masuk ke dalam mobil. Perkosaan pun terjadi di atas mobil (Santoso, 2009: 93). Sejumlah uang hasil Sum berjualan telur, juga diambil oleh para pelaku.

Usai memerkosa, di perjalanan Sum diturunkan. Susah payah,  korban bangkit dan berjalan mencari pertolongan. Setelah mendapat pertolongan, ia mengadu ke polisi telah diperkosa oleh empat pemuda berambut gondrong di dalam sebuah mobil. Hasil visum dokter menyebutkan, alat kelamin Sum mengalami perdarahan, selaput daranya robek, dan paha kanan – kirinya luka. Jelas ini menunjukkan tanda-tanda bahwa ia memang telah digagahi secara paksa. Lucunya, empat hari setelah dirawat, ketika keluar dari rumah sakit, polisi malah menangkap dan menjadikannya tersangka.

Terkait pengakuan Bud tentang ia bersama tiga temannya yang memerkosa Sum, koran-koran gencar memberitakannya sehingga jadi pembicaraan masyarakat. Tetapi, seperti seperti kutip Kompas (19/1/1971), Pakualam yang juga Wakil Gubernur Yogyakarta membantah keras tentang keterlibatan anaknya: “Berita itu sama sekali tidak nyata. Itu overbodig (berlebihan).” **

Jasa Kelola Website

Tinggalkan Balasan

Kuliah di Turki