Kolom  

Agar Persaudaraan dan Kegotongroyongan Tidak Cuma Seremoni Belaka

Suryadi, Pemerhati Kebudayaan

“…saudara kandung takkan
meninggalkan saudara-saudaranya
ketika macan datang mengancam”.
Penggalan ungkapan yang diklaim sebagai
pepatah Cina Kuno ini pernah dikemukakan oleh seorang petinggi Ibu Kota Jakarta di masa lalu, terkait bagaimana rekatnya suatu persaudaraan. Benarkah demikian? Tulisan ini tidak untuk menggeneralisasi, benar demikian atau tidak ada sama sekali.

SEORANG laki-laki berprofesi jurnalis terserang stroke berat, beberapa waktu lalu malam hari dalam tahun 2023. Ia tinggal sendirian di kamar sebuah rumah kos di Peterongan, Depok, Jawa Barat (Jabar). Sanak suadaranya, terutama saudara kandung, semua tinggal nun jauh di kampung asal, Mesi, Manggarai Timur (Mangtim), Provinsi NTT.

Saat itu usia Hilarius Japi, biasa dipanggil Hila, sudah 66 tahun. Ia tak  lagi bekerja tetap untuk sebuah penerbitan. Maka, praktis penghasilan tetap pun tak ada, kecuali alakadarnya dari media online tempat ia bergabung sebagai jurnalis.

Akibat serangan stroke berat kondisinya sangat memrihatinkan. Malam serangan stroke berat kali itu, Hila cuma bisa diam tergeletak, sampai pagi harinya seorang tetangga rumah kosnya tahu dan lewat telepon genggam mengabari teman Hila di kawasan Matraman, Jakarta Pusat (Jakpus).

Selanjutnya, ia dirawat oleh teman yang tinggal bertetangga kampung  semasa masih di Mangtim, yaitu Pieter Sambut bersama istri dan seorang putranya. Hila sepenuhnya dilayani di tempat tidur. Karena rumahnya tak memungkinkan, kemudian Pieter menempatkan Hila di sebuah kamar di rumah kos yang tak berjauhan dengan  rumahnya.

Hari ke hari Pieter kerap memuat perihal perawatan dan perkembangan Hila di media sosial (medsos). Ini sisi positifnya medsos, bantuan pun mengalir dari mereka yang pernah satu grup penerbitan dengan Hila atau mereka yang bersimpati. Simpati dan bantuan tak cuma dari Jakarta, melainkan juga dari Kupang dan Surabaya.

Sampai satu ketika seorang donatur, seorang pensiunan pemimpin redaksi sebuah koran terkemuka Ibu Kota, diketahui teman satu sekolah Hila di masa lalu, muncul memberi bantuan. Ia memberi bantuan untuk Hila  pulang kampung. “Agar dapat dekat dengan saudara-saudara kandungnya sendiri di Mangtim,” tutur Hila Bame, saudara sepupu sang dermawan.

Kini Hila di Mesi dalam rawatan keluarga kakak kandungnya. Terkadang ia berpindah ke rumah adik kandungnya. Ia sering berkirim video, yang memerlihatkan ia sudah bisa berjalan-jalan di sekitar tempat tinggalnya.

Hila tak sendirian. Ada rekan seprofesi dan sekantor dengannya 28 tahun lalu. Helma namanya. Ia juga mengalami serangan stroke berat. Tinggal berdua dengan suami di Pasir Putih, Depok, Jabar.

Di rumah kecil di daerah yang berbatasan dengan wilayah Jakarta Selatan (Jaksel) itu, Helma sudah 1,5 tahun lebih –dari tiga tahun stroke–  terkapar di tempat tidur. Ia cuma bisa terbaring dan dilayani sang suami.

Semua aktivitas Helma, termasuk makan, (maaf) seperti BAB,  BAK, dan mandi di layani sendiri oleh sang suami yang praktis tak bisa meninggalkan sang istri, untuk kegiatan mencari nafkah. Sejak pensiun dari sebuah perusahaan swasta (2018 dan 2012), keduanya menjalani kehidupan sebagai penulis buku.

Adalah Surti (bukan nama sebenarnya) tinggal di Sumber Jaya, Tambun Selatan, Bekasi, Jabar, memberi perhatian khusus untuk Helma. Akhir-akhir ini, perempuan yang tinggal bersama dua anak dan 20 ekor kucing peliharaannya, sengaja berangkat jauh-jauh dari Tambun menumpang kereta rela litrik (KRL) menuju Depok, menginap 2 – 3 hari di rumah Helma. Sengaja ia ke sini untuk ikut membantu merawat Helma.

Perjalanan menggunakan KRL dari Tambun ke Depok harus transit dulu di Jatinegara (Jakarta Timur, Jaktim) dan Manggarai (Jakarta Selatan, Jaksel).

Setelah berdesak-desakan menumpang KRL selama tiga jam, ia turun di Stasiun Citayam, Depok, dan melanjutkan dengan menumpang ojek menuju rumah Helma.

Sungguh jarak serupa Tambun – Depok kerap dijadikan alasan langkanya silaturahmi antara teman atau saudara sekandung sekalipun. Namun, tidak bagi Surti yang berpenghasilan pas-pasan dari pekerjaannya yang paruh waktu.

Berbeda dengan sakit Hila dan Helma, adalah Adri (42). Empat tahun ia harus berdiam diri di rumahnya (yang masih harus ia cicil) di Depok, Jabar. Ayah tiga anak yang masih kecil-kecil ini, harus menerima kenyataan berhenti dari tempatnya bekerja, setelah cacat kaki kanan akibat ditabrak mobil saat  bersepeda motor.

Selama empat tahun dia betul-betul dirawat di tempat tidur, kecuali bila harus ke rumah sakit untuk operasi, berobat ulang, atau terapi. Demi pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sang istri berinisiatif jualan makanan. Lumayan, walau harus sangat beririt-irit, kebutuhan sehari-hari dapat tertutupi.

“Pahit memang, Tapi, sudah begini mau gimana  lagi,” kata Adri yang tampak amat sabar dan bangga dengan istri dan ketiga anaknya yang santun-santun.

Sekitar enam bulan lalu, dua saudara kandungnya –yang biasa mengantarnya ke RS–, melihat Adri sudah mulai bisa berakitivitas. Kedua saudara kandungnya yang tak mau disebutkan namanya itu bergotong-royong mencicil minibus untuk ditaksi-onlinekan oleh Adri. Ini demi Adri  bisa mandiri dan menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga.

Meski masih harus tertatih-tatih, kini Adri sudah punya penghasilan sendiri dari menaksi-online-kan mobil yang “diambilkan” oleh saudara-saudara kandungnya. Kedua saudara kandungnya itu,  satu PNS dan satu lagi sebuah perusahaan swasta.

Dalam kasus berbeda, seorang jenderal bintang dua polisi (tak bersedia disebutkan namanya) di Banten, tersentak ketika membaca berita seorang siswa SMK swasta terancam putus sekolah lantaran tak mampu membayar uang sekolah. Kejadian ini sekitar jelang ujian semester ganjil 2023.

Segera ia minta rekannya mencari tahu tentang sang siswa. Alam (17), demikian nama pelajar tersebut, kini sudah aktif kembali setelah sang jenderal membayarkan uang sekolahnya.

Persaudaraan
ADA Pieter, Surti, dua saudara kandung Adri, dan seorang jenderal dalam kasus yang berbeda, terungkap dalam kenyataan tadi. Keempatnya telah mengedepankan kemanusiaan dalam persaudaraan yang sejati.

Saudara dan persaudaraan dua hal yang berbeda namun senyawa. Saudara, boleh jadi karena ikatan keluarga, saudara kandung, sebangsa,  pertemanan, persahabatan, atau tinggal bertetangga.

Persaudaraan ada dalam semua hubungan itu, tetapi  persaudaraan juga melintasi jarak meski satu sama lain tak kenal. Ikatan kemanusiaan telah terbuhul oleh “penderitaan dan kesulitan” yang dialami sesama.

Indonesia kini dihuni 270,8 juta jiwa. Konon, tak sampai 10 persen dari jumlah itu, tergolong miskin. Tentu saja, belum termasuk yang ada dalam kategori terancam miskin, setengah miskin, atau mungkin sangat miskin.

Sayang parameter miskin yang tersosialisasi, kini baru berbasiskan elaborasi penghasilan secara materi. Padahal, kemanusiaan akan lebih mampu menerobos hal-hal yang materiil sampai ditemukan solusi efektif  berbasis budaya. Ini seperti ditunjukan oleh Pieter, Surti, sang jenderal, dan kedua saudara kandung Adri.

Tanpa kemanusiaan akan memiskinkan rasa kemanusiaan atau malah berlindung di balik pembenaran kepasrahan. Padahal, usaha itu ada dalam satu paket ibadah. Ibadah ritual dan sosial tak pernah menyalahkan kebersamaan, yang telah berakar pada bangsa ini berjuluk gotong-royong.

Sekelompok orang berprofesi jurnalis dan penulis dari berbagai belahan Ibu Kota Jakarta, hari  Kamis (17/1/24) berkumpul dan menyatakan tekat mengokohkan diri dalam aktivitas kemanusiaan.

Di sebuah gedung  di Kedoya Raya Jakarta Barat, mereka yang diketuai Pangihutan Simatupang menanamkan kepedulian akan kemanusiaan, melalui Forum Edukasi Pers Indoensia (FEPI), baik untuk kalangan jurnalis, “jurnalis veteran”, maupun masyarakat umum.

Bangsa ini masih memerlukan banyak lagi pejuang kemanusiaan. Bukankah mereka yang tergolong miskin, terancam miskin, setengah miskin, atau mungkin sangat miskin, masih akan membiak bila terbiarkan?

Jangan biarkan kemiskinan membiak menjadi selain miskin materi, juga miskin pikir dan nurani. Jika hal ini terjadi, akan kian bertambah banyaklah yg anak-anak bangsa yang miskin lengkap plus tanpa rasa kemanusiaan.

Apalagi, kesulitan dalam memberanikan diri untuk hidup, bukan cuma untuk dimunculkan kala datang sakit berat atau meninggal dunia.

Sebaliknya, adalah kenyataan kerap bersenang-senang  saat pesta menghelat berbagai resepsi yang diseremonilkan sampai melampaui batas kemampuan keluarga. Bahkan mungkin secara berlebihan oleh keluarga yang betkemampuan besar.

Patut menjadi keprihatinan bersama yang dikonkretkan dalam bersikap, mengingat selalu saja ada persoalan yang melilit sepanjang perjalanan kehidupan.

Sebetulnya semua itu dapat diatasi dengan kegotongroyongan dalam kemanusiaan yang tidak dramaturgi.

Mari simak janji-janji para pasangan calon capres – wapres dan legislatif di Pemilu 2024. Adakah mereka menjadikan kebersamaan alias gotong-royong dalam berekonomi  untuk kemajuan bersama?**

Jasa Kelola Website

Tinggalkan Balasan

Kuliah di Turki