Suryadi
Pemerhati Budaya
LEBIH dari seabad lalu tanah terjajah East Hindia (Nusantara, kini Indonesia) berpenduduk tak lebih dari berkisar 60 juta jiwa. Jumlah ini sebagian besar terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Saat itu Balai Pustaka (BP) selain mencetak dan menerbitkan buku, juga berperan menyebarluaskan buku kepada masyarakat.
Balai Pustaka juga mendirikan perpustakaan umum di HIS (setingkat SD di zaman Belanda untuk Pribumi tertentu).
Juga, BP mencatat tak kurang dari 100 ribu buku terjual dan satu juta peminjaman buku, demikian Prof. M. C. Ricklefs dalam “Sejarah Indonesia Modern”, 1209 – 2004 (2005: 383).
Dari data 1920 itu, tampak minat, kemauan, dan jumlah warga yang membaca sudah tergolong lumayan besar.
Padahal, sekolah, dari mulai level dasar, menengah, apalagi perguruan tinggi, selain masih sangat langka, juga berlaku diskriminasi peserta didik.
Hanya dari kalangan berstatus sosial tertentu yang diizinkan mengikuti pendidikan. Cuma anak dari keluarga terpandang yang bisa menikmatinya, seperti anak dari keluarga demang dan bupati.
KINI, bahkan sejak Indonesia merdeka, pendidikan atau sekolah formal pada semua tingkatan sudah bisa dinikmati oleh setiap warga negara Indonesia.
Bahkan, ada pula beasiswa, selain tersedia perustakaan mobile sampai ke daerah-daerah yang memungkinkan dijangkau oleh masyarakat.
Ada pula mereka yang secara suka-rela keliling desa berkendara sepeda motor yang telah dimodifikasi menjadi Perpustakaan Keliling. Sejumlah Bhabinkamtibmas Polri, salah satu contoh yang berinisiatif seperti itu. Apakah mereka ini termasuk di antara 67.000 polisi yang diusulkan masyarakat masuk sebagai nominator penerima “Hoegeng Award” Hari Bhayangkara 2022? Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo lah yang relevan menjawab.
Ilmu dan teknologi (iptek) telah pula memfasilitasi cara cepat dan mudah memeroleh beragam jenis bacaan. Buku, majalah, surat kabar atau bacaan lain. Baik dalam bentuk fisik maupun digital.
Kenyataan berkat kemajuan iptek yang demikian itu, sudah selayaknya beriringan dengan ketersediaan bacaan, tingginya minat baca, dan jumlah warga pembaca.
JUMLAH media, terbesar online (OL) alias yang terfasilitasi oleh teknologi canggih, sekitar 100.000 media. Bahkan di sebuah provinsi yang dihuni 10 jutaan penduduk, terdapat tak lebih dari 200 media OL.
Juga, total di Indonesia kini, tersebar tak kurang dari 40.000 orang yang mengklaim diri jurnalis, yaitu suatu profesi yang berfungsi mengedukasi (E) masyarakat, disamping mengemban fungsi komunikasi dan informasi (KI).
Sungguh menggembirakan, bukan? Maka, adalah wajar bila muncul pertanyaan yang menggelitik: *Dewaa ini berapa banyak jumlah warga dari berbagai lapisan profesi, sosial dan level pendidikan yang setiap harinya sengaja meluangkan waktu untuk membaca buku?*
TAK salah juga andai dunia pendidikan menganjurkan agar setiap warga yang sudah mampu baca, meluangkan waktu minimal 1 – 2 jam per hari untuk membaca bacaan bermutu.
Dengan demikian, diharapkan sejalan perkembangan zaman, mereka dapat menambah pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Buku adalah jendela dunia. Pada masa-masa berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, salah seorang Bapak bangsa, Bung Hatta ketika harus menjalani pengasingan atau pemenjaraan, misalnya di Pulau Banda nan jauh di sana, sengaja membawa buku berpeti-peti.
Padahal, saat itu selain angkutan kapal masih langka, juga jarak dari Jakarta –yang sejak dulu sudah merupakan episentrum politik–, amat jauh.
Buku-buku tersebut, ia kumpulkan semasa ia masih pelajar dan mahasiswa di Belanda.
Berkat banyak membaca, mengeksplor pemikiran, bahkan laki-laki Minang itu sejak usia belia sudah menulis buku. Misalnya, tentang filsafat Yunani. Buku karyanya ini pula yang kemudian ia jadikan mahar ketika menikahi Rahmi Hatta yang dilamarkan oleh Sang Pemimpin Bangsa, Bung Karno.
“Tak jadi masalah aku dipenjara, asalkan aku selalu dekat dengan buku,” agaknya begitulah buku bagi Hatta. Bagi Anda?
PEKAN lalu saya mengunjungi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) di Jakarta Pusat (di Matraman khusus media cetak), dan di Medeka Selatan (untuk buku-buku).
Pengunjung Perpusnas bejibun. Gedungnya apik, resik, dan full adem. Tentu saja, nyaman dan ingin berlama-lama di situ jadinya.
Di gedung berlantai-lantai itu, tersedia pula “sudut-sudut bergaya” yang menggairahkan bagi pengunjung. Berfotoria di situ tak kalah menyenangkan bila dibandingkan dengan pojok-pojok yang tersedia di lokasi-lokasi wisata.
Sebelum berburu bacaan, pengunjung lebih dulu buat Kartu Anggota. Petugas Perusnas selalu siap melayani. Daftar dulu di komputer yang banyak tersedia di ruang lobi. Sebentar jadi, gratis pula!I
Informasinya, Perpusnas juga buka bagi pengunjung di hari Sabtu dan Minggu. Moga saja, juga demikian dengan Perpus-Perpus di seluruh daerah di Tanah Air! **