Jakarta, BIJAK
Kasus Covid-19 di Indonesia disebut sebut masih belum mencapai puncaknya, meskipun kini telah lebih dari 20 ribu kasus positif ditemukan di Indonesia. Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan seperti Pembatasan Sosial berskala Besar (PSBB) yang kini telah diterapkan di berbagai kota besar di Indonesia.
Pemberlakukan PSBB tersebut tentu secara langsung maupun tidak langsung akan mengganggu kelangsungan kontrak dalam bisnis yang mereka lakukan, yang tentunya akan menimbulkan berbagai sengketa bisnis. Anggota Arbiter Badan Arbitrase Indonesia (BANI), Nindyo Pramono menyebutkan bahwa fenomena Covid-19 dapat dikategorikan sebagai salah satu kasus Force Mejeur. Demikian diungkapkan Nindyo dalam Seminar Online (Webinar) yang diselenggarakan oleh BANI, Senin (4/5/2020).
Dalam Webinar yang bertemakan “Covid-19 : Persitiwa Force Majeure dan Penyelesaiannya Melalui Arbitrase” tersebut, Nindyo memaparkan bahwa force majeur adalah keadaan dimana debitur gagal menjalankan kewajibannya pada pihak kreditur karena kejadian yang berada di luar kuasa pihak yang bersangkutan, misalnya karena gempa bumi, tanah longsor, epidemic, kerusuhan, perang dan sebagainya. “Fenomena Covid-19 ini dapat dikategorikan sebaga salah satu kasus force majeure, meskipun bukan termasuk force majeur absolut, melainkan force majeur subjektif atau nisbi,” ujarnya.
Nindyo menambahkan, force majeure subjektif atau nisbi dapat menjadi pembelaan debitur untuk menunjukan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan disebabkan hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan ia tidak dapat berbuat apa apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul.
Sementara itu, Sri Rahayu yang juga sebagai narasumber Webinar menuturkan bahwa akibat hukum dari force majeure bergantung pada sifat dari kewajiban, serta ketentuan dalam perjanjian. Kemudian, ia pun memaparkan beberapa poin akibat dari force majeure. “Debitur tidak perlu membayar ganti rugi, dasar untuk melakukan renegosiasi perjanjian di antara para pihak dan bila keadaan memaksa yang bersifat objektif dan tetap maka perikatan itu batal,” ujar praktisi hukum tersebut.
Di sisi lain, Wakil Ketua International Mediation and Arbitration Center (IMAC), Eko Dwi Prasetiyo mengatakan, penurunan perekonomian negara yang diakibatkan wabah ini berdampak besar terhadap melemahnya perekonomian negara. “Hal itu menjadikan timbulnya kesulitan dalam memenuhi kewajiban kontraktual dan menjadi potensi sengketa kontraktual,” ujarnya.
Eko melanjutkan bahwa sebelum masuk penyelesaian sengketa, terdapat satu cara untuk melakukan pencegahan terhadap sengketa. “Terdapat suatu mekanisme yang dikenal dengan pendapat yang mengikat atau binding opinion,” tutur sekretaris I BANI itu. Menurutnya, binding opinion merupakan satu-satunya kelebihan yang ada di undang-undang arbitrase Indonesia. “Binding opinion ini bukan termasuk penyelesaian sengketa, melainkan hanya untuk mengakomodir perbedaan penafsiran dari perjanjiannya,” ujar Eko.
Sementara itu, kata Eko, jika hasil binding opinion tidak dilaksanakan, maka pihak yang bersangkutan masih mempunyai hak untuk menuju pada proses penyelesaian berikutnya. Penyelesaian sengketa dapat dipilih melalui cara non-adjudikasi atau adjudikasi. Cara non-adjudikasi bisa dalam bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilai ahli. Sedangkan adjudikasi dapat dalam bentuk arbitrase atau pengadilan.
Penulis: Deddy Haryadi