Oleh: Suryadi
DIA bukan pesohor jurnalis. Untuk ukuran Provinsi Lampung, sekalipun. Akan tetapi, di tangannya sesuatu yang ia temukan, berubah menjadi apik dan indah ketika ia tumpahkan dalam sebuah feature. Esoknya, terbit pula di koran atau tabloid Ibu Kota Jakarta.
Keindahan feature-nya, setidaknya menurut saya, memang lebih. Meski, harus dibandingkan dengan karya mereka yang telah lebih dahulu menggeluti jurnalistik di bumi Sang Bumi Ruwa Jurai (Saburai, Bhineka Tunggal Ika).
Koran tempat ia bekerja sebagai jurnalis, selalu menerbitkan berita-berita atau feature kirimannya yang representatif. Tak sekadar bermuatan single narasumber; lengkap menggambarkan realitas lapangan sebagai “jawaban” atas omong-omong formal atau pidato pejabat. Tidak “omong doang” alias omdo, kata anak-anak kini.
Toh pejabat tinggi Lampung kala itu, seperti Gubernur Pudjono Pranjoto (alm) dan Bupati Lampung Tengah, R. Soekirno (alm) tetap bisa akrab dengannya. Tak terbilang pula kalangan pers, seniman, dan masyarakat kebanyakan, seperti loper koran di Kota Tanjung Karang – Teluk Betung.
Itulah Adnan Takelayratoe (67) yang berpulang Kamis malam, 29 Desember 2022. Sebagai pribadi, dia adalah adik kandung (alm) Adrian Takelayratoe, perintis batik Lampung yang telah wafat lebih dahulu, 2 Maret 2022. Adnan Takelayratoe atau Nan Troe, akrab disapa dengan Nan saja.
“Dia meninggal tadi malam (Kamis, 29/12/2022),” demikian forward jurnalis senior, Dadang RW, kepada saya esok paginya (Jumat, 30/12/2022). Sangat beralasan Dadang mem-forward kabar duka itu kepada saya. Ia tahu benar, bahwa almarhum semasa aktif di tahun 1980-an sangat dekat dengan saya.
Begitu akrabnya kami, sampai-sampai kakak kandungnya, Adrian kerap berseloroh, “Kalian berdua ini seperti tutup dengan botol.” Ketika itu saya koresponden sebuah koran harian yang terbit di Jakarta, namun kemudian beralih menjadi reporter sebuah kantor berita untuk Biro Lampung.
Selain itu, sepertihalnya Nan, saya banyak menulis lepas di berbagai koran, tabloid, dan majalah terbitan Jakarta. Nan dan saya, sama-sama tergila-gila menjadi jurnalis. Kami bangga dan segera makan siang di kedai PWI Mas Pardi, bila tulisan-tulisan kami dimuat oleh koran Jakarta. Kami menyebutnya koran Ibu Kota. Kata “tembus” kami gunakan untuk menggantikan “dimuat”.
Menulis, berita atau feature (juga foto, khusus bagi alm. Nan), bagi kami, adalah demi hobi. Lagi pula, untuk ukuran waktu itu, jika sampai terbit di media-media cetak Jakarta, honornya lumayan gede. Bisa bikin asap dapur tetap ngebul, sambil menunggu awal bulan, saat datangnya honor dari media tempat kami sebagai koresponden.
Di tahun 1980-an, tulisan Nan kerap menghiasi halaman Tabloid Mingguan Olah Raga Bola (Grup Kompas). Pada masa itu, tulisan seseorang berhasil tembus dimuat oleh Bola (kini tidak terbit lagi), tempat bercokolnya wartawan olah raga kawakan seperti Sumohadi Marsis, bagi wartawan di daerah (Lampung), menjadi kebanggaan tersendiri.
Diam-diam kami berdua seperti terlibat “bersaing”. Tentunya sehat. Dia kerap menulis di Bola, saya di Tabloid Mingguan Tribune Olahraga (Grup Sinar Harapan) asuhan jurnalis Stevi Rompis. Kami menjadi lebih akrab lagi ketika sama-sama nyambi di koran lokal Suara Angkatan Pembangunan (SAP), sebuah koran mingguan Lampung yang pertama cetak rutin berwarna. Di sini, Nan redaktur foto, sedangkan saya redaktur olah raga.
Terakhir, di Harian Pelita, Nan tercatat sebagai koresponden. Koran Jakarta yang berkantor di Jalan Sudirman itu, sudah lama tak terbit lagi. Saya pun tak pernah lagi membaca berita-berita liputannya tetang Lampung atau hasil guratan tangannya berupa feature nan indah. Kami berpisah daerah sejak 1989 dan terakhir jumpa 2020 saat saya (bersama Helsi Dinafitri) melakukan penelitian lapangan untuk menulis naskah buku Generasi Transisi di Era Perubahan (Pelita, 2020) di Kota Bandar Lampung. Itu setelah puluhan kehilangan kontak, dan kini menerima kabar, bahwa ia telah berpulang.
Bermula dari Layoutman
NAN menggeluti dunia media, khususnya koran, mulai akhir 1970-an. Ia memulai sebagai layoutman merangkap korektor, di koran lokal, Harian Lampung Post. Tetapi, ia hobi dan menjiwai fotografi. Ke sana ke mari di bahunya selalu mengelantung kamera.
Koran Harian Lampung Post kini masih terbit, meski pemiliknya sudah berganti, bukan lagi H. Solfian Ahmad (alm) atau keluarganya.
Meski sebagai penata wajah, Nan banyak “mengganggu” rekan-rekan di kamar gelap yang tengah “mencuci-cetak” foto hitam-putih. Bahkan, ia menumpang cuci-cetak foto-foto hasil bidikannya di kamar gelap satu-satunya harian yang terbit rutin di Tanjung Karang – Teluk Betung waktu itu (Ibu Kota Provinsi Lampung yang sejak 40-an tahun lalu berubah nama menjadi Bandar Lampung).
Akan halnya Nan yang layoutman merangkap korektor itu, rupanya diam-diam ingin pula ia menjadi jurnalis. Dia sering berlatih menulis sendiri, meski waktu itu tulisannya belum terbaca di koran lokal. Apalagi, di koran Jakarta. Kecuali, foto-foto dengan “sudut pengambilan” yang apik karyanya, sesekali terpampang menghiasi halaman pertama koran lokal.
Suatu ketika, tak lama setelah kami akrab, ia berhenti dari Harian Lampung Post. Kemudian ia mengajak saya bergabung di Mingguan SAP asuhan jurnalis senior, Azis Kasyim (alm). Toh kami tetap menyimpan cita-cita untuk suatu saat bisa punya koran sendiri. Sekurangnya, mengelola perwakilan koran nasional terkemuka terbitan Jakarta. Pada masa itu, koran Jakarta, kerap kami sebut koran Ibu Kota. Lampung tempat berkutat sehar-hari, kami sebut daerah. Maka, sesuai kehidupan yang nyaris nirdemokrasi saat itu, jadilah koran Lampung ya koran daerah.
Selain asyik dengan karya-karya fotonya, Nan yang hampir setiap hari bepergian dengan saya, rajin berlatih menulis sendiri, baik dalam bentuk berita maupun feature. Setiap kali selesai menulis, setiap kali pula ia minta saya membacanya.
Sampai suatu ketika saya dibuatnya terkagum-kagum ketika membaca feature karyanya tentang berbagai aktivitas cabang olah raga di Lampung. Di antara cabang-cabang olah raga itu, sepakbola, tinju, ateletik, softball, dan senam. Tulisannya tak cuma lengkap, tapi indah bak karya “jurnalistik sastra”. Bercerita, mengalir, dan efektif.
Meski selalu ia meminta saya membaca lebih dahulu, kepadanya saya kerap menyemangati dan bersaran untuk mulai mengirimkan feature-feature berikut foto-foto karyanya ke media cetak Jakarta. Waktu itu pengiriman masih lewat pos kilat khusus.
Hari-hari selanjutnya, benar saja, khalayak Lampung, khususnya kalangan olah raga, dapat membaca tentang olah raga daerahnya di Mingguan Bola. Bukan cuma sepak bola, tapi juga tinju, atletik, softball, dan senam.
Kala itu sepak bola, tinju, atletik, softball, dan senam di Lampung sedang bangkit dan diperhitungkatan di tingkat nasional. Marzuli Warganegara (alm), yang Ketua Komisariat Daerah (Komda) PSSI Lampung waktu itu, menyumbang “Sepatu Emas” untuk diperebutkan di tingkat nasional. Pemilik klub sepakbola Galatama “Jaka Utama” ini, juga menyumbang “Sarung Tinju Emas” (STE) untuk diperebutkan secara nasional. Organisasi tinju amatir Lampung, Pertina, waktu itu diasuh oleh duet Damita Hari – Dadang RW.
Begitu sumringahnya wajah keolaharagaan Lampung saat itu, khususnya sepakbola dan tinju, tak bisa dilepaskan dari peran dan dukungan kalangan media. Para jurnalis dengan media cetaknya masih merupakan pers mainstream yang dominan. Meski, harus diakui, kehidupan pers masih sangat dihantui oleh represvitasnya Pemerintah yang otoriter. Kesan saya, “ruang” olah raga menjadi satu-satunya “lahan kebebasan” bagi jurnalis dalam menulis.
Keriap Gunting….
“KERIAP suara gunting terdengar dari bagian depan ruang rumah itu…,” begitu suatu ketika terbaca antara lain di halaman daerah Harian Pelita. Secara keseluruhan. Feature ini bercerita tentang aktivitas sehari-hari Syafei, yang baru memulai usahanya di bidang konfeksi. Di ujung feature itu, di dalam kurung tertulis nama: Adnan Troe.
Lewat feature-feature-nya, Nan tak cuma menulis dunia olahraga. Kehidupan sosial lainnya di Lampung, seperti industri kecil Syafei yang antara lian memroduksi seragam atlet, tak luput dari perhatiannya. Disadari atau tidak, Nan sudah memperkenalkan kepada masyarakat Lampung, bahwa untuk memenuhi kebutuhan pakaian/ seragam olah raga, tak harus pesan jauh-jauh ke Jakarta atau Bandung. Konveksi Syafei pun berkembang, meski kini di 2022 tak tampak geliatnya lagi.
Nan, ayah dari tiga orang anak yang tinggal di Perumas Way Halim, Bandar Lampung, kini telah berpulang menghadap Sang Khalik. Untuk siapa pun yang ingin menjadi jurnalis, ia telah menyumbangkan sebuah pelajaran sederhana namun sangat berharga.
Ia memulai dari seorang korektor. Agaknya, pekerjaan sebagai korektor itulah yang membuatnya terlatih peka, teliti, dan akurat dalam menulis. Keindahan menulis, seperti pengakuannya, ia dapatkan dari imajinya yang mendahului lahirnya karya-karya foto jurnalistik, di samping kemampuannya berkreasi menata wajah koran.
Di atas semua itu, saya adalah saksi mata: semasa hidupnya ia rajin membaca dan berlatih menulis. Nan juga rendah hati. Ia tak segan-segan meminta orang lain (tertentu) yang ia kagumi untuk membaca naskah-naskah buatannya sebelum via pos dikirimkan ke media cetak di Jakarta kala itu.
Selamat jalan Nan! Dalam bentuk lain, semoga jejakmu ditapaki jurnalis generasi era teknologi tinggi kini dan nanti: berimaji beradasarkan hal yang objektif; menyengaja untuk membaca, tak jemu berlatih menulis, rendah hati, rajin mengasah kepekaan agar tak kehilangan daya kritis. Demi kemandirian dan harga sebuah profesi, tidak dengan meminta-pinta diakui.
Terakhir, tentu, peka membaca kebutuhan masyarakat sebagai tempat profesi Jurnalis bertanggungjawab.**
Penulis, pengamat budaya dan teman dekat almarhum Nan.