8.IMAN SANTOSO HOEGENG
KESEMPATAN masih dianjurkan untuk istirahat dimanfaatkan oleh Hoegeng yang ketika itu masih sendiri, mengambil cuti untuk pulang ke Pekalongan. Di Pekalongan harapan untuk dapat istirahat, ternyata sangat mustahil.
Revolusi baru berkobar. Tantangan baru bermunculan. Karesidenan Pekalongan sendiri baru dilanda Revolusi Sosial yang terjadi di tiga daerah bawahan –Brebes – Tegal – Pemalang. Tentu saja, merembet hingga Pekalonggan sebagai pusat Karesidenan. Sedikit-banyak, catat Hoegeng, peristiwa tersebut telah meninggalkan kesan-kesan traumatis baginya dan keluarga. Sebab, selain ada anggota keluarganya yang menjadi korban, ayahnya yang Kepala Kejaksaan Karesidenan hampir dikup oleh bawahannya.
Peristiwa Tiga Daerah tersebut, berbasis pada kecemburuan sosial yang sengaja diekskalasikan oleh tuduhan bahwa orang pribumi yang sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi pejabat Pemerintah Penjajah (Belanda dan Jepang), adalah antek penjajah. Terkait hal itu, para pejabat, termasuk ayah Hoegeng, sewaktu-waktu bisa saja terkena sasaran amuk akibat stigma merata-rata. Apalagi dikabarkan, Belanda yang masuk membonceng sekutu ke Indonesia pasca Jepang kalah perang dari sekutu, segera akan tiba untuk kembali menjajah. Padahal tentu saja, tidak bisa dipukul rata begitu. Tergantung nasionalisme si pejabat dan bagaimana keberpihakan mereka kepada rakyat
Dalam Suasana seperti itu, satu-satunya yang menggoda Hoegeng adalah keinginan kuat untuk membuktikan pada diri sendiri dan siapa pun, “bahwa kami tak kurang dari kelompok lainnya yang merasa paling berjiwa Republik!” (Yusra dan Ramadhan, 1993: 132). Momen itu sempat mengubah Hoegeng yang polisi menjadi tentara Angkatan Laut.
Ceritanya, rumah (kontrakan) ayah Hoegeng memang biasa kedatangan tamu pejabat. Suatu hari datang Panglima/ KSAL Kolonel M. Nazir dan Maris juga dari AL. Hoegeng dan keluarga sudah mengenal Nazir, yang urang awak itu sejak di Semarang. Mengetahui Hoegeng yang tengah uring-uringan (Jawa, marah-marah dengan menggerutu/ KBBI, 2002: 1251), Nazir mengajaknya masuk AL untuk membentuk Polisi Penyelidik AL.
Dalam “rayuannya”, setelah tahu Hoegeng berpendidikan dan bekerja sebagai polisi, Nazir mengatakan, sistem organisasi dan pekerjaan di Kepolisian itu sudah jadi. Untuk anak muda terpelajar, ada pekerjaan yang punya prospek lebih bagus dan penuh tantangan. “Kalau jij tertarik maka saya punya tempat yang belum diisi, cocok untuk jij. Kami masih kekurangan orang seperti jij yang juga punya latar belakang pendidikan akademi kepolisian. Kita akan menyusun Satuan Polisi Penyelidik Angkatan Laut. Ada tempat buat jij. SK dan fasilitas yang diperlukan untuk membentuk, bisa diatur. Tugasnya berat, tapi saya percaya jij mampu. Pokoknya, pikir-pikir dulu tapi jangan terlalu lama,” kata Nazir kepada Hoegeng sebelum pergi (Yusra dan Ramadhan, 1993: 134).
Hoegeng sempat minta tanggapan ayahnya terkait pandangan dan ajakan Nazir itu. Tetapi, sang ayah yang memang tidak pernah memaksakan anaknya mau jadi sesuatu apa, memulangkan semuanya kepada keputusan Hoegeng. Baginya, yang terpenting Hoegeng bekerja untuk kepentingan masyarakat dan perjuangan, serta selalu menjaga nama baik. Sementara dalam hati Hoegeng, usul Nazir yang punya kepercayan penuh kepadanya itu, telah menjadi obat yang baik selama hari-hari cuti sakit di Pekalongan.
Terakhir (bukan penghabisan), Hoegeng memutuskan berangkat ke Yogyakarta. Saat itu Ibu Kota negara sudah dipindahkan dari Jakarta ke Yogya terkait sudah tidak lagi kondusifnya keamanan di Jakarta, khususnya bagi penyelenggaraan pemerintahan RI. Tentara NICA Belanda telah masuk membonceng sekutu, untuk kembali menjajah. Kepindahan Ibu Kota Negara ini terjadi tanggal 4 Januari 1946 atau sekitar hampir lima bulan lebih setelah proklamasi kemerdekaan.
Tiba di Yogya, praktis saja, tanpa Surat Keputusan Hoegeng diberi pangkat mayor oleh KSAL M. Nazir. Gajinya Rp 400. Begitu sederhananya mekanisme pengangkatan Hoegeng sebagai tentara AL dengan pangkat mayor. Pada awal 1946, memang adminsistrasi pemerintahan, termasuk di AL, belum sempat dibenahi secara baik. Oleh KSAL, Hoegeng diperintahkan membentuk Dinas Kepolisian Militer Angkatan Laut dengan nama Penyelidik Militer Laut Chusus (PMLC).
Tugas Hoegeng, selain menegakkan disiplin dan ketertiban internal AL, juga menjadi semacam badan spionase AL yang mencari dan mengumpulkan informasi tentang kekuatan musuh untuk kepentingan AL. Ia bertanggung jawab kepada Letkol Darwis, Komandan AL Jawa Tengah yang berkedudukan di Tegal. Hoegeng berhasil meletakkan dasar-dasar organisasi PMLC, termasuk juga merekrut sejumlah tenaga yang antara lain dari anggota polisi yang pernah menjadi anak buahnya di era Jepang saat di Kepolisian Kota Semarang.
Sebagai Mayor AL selama di Yogya, Hoegeng ditempatkan di Hotel Merdeka (sekarang Grand Hotel). Ia menginap di kamar dengan fasilitas yang bagus. Masih sebagai anggota AL, Hoegeng oleh Kapten Iskak, Kepala Bagian Penerangan Angkatan Laut, Darat, dan Oedara (ALDO) “dicomblangi” dengan Mery yang bekerja sebagai penyiar RRI Yogyakarta.
Iskak yang juga menempati salah satu kamar Hotel Merdeka, memasangkannya dengan Mery sebagai pemeran utama sandiwara radio “Saija dan Adinda”. Sandiwara yang berbasis novel karya Multatuli tentang dua sejoli di masa pemerintahan penjaja Belanda di Lebak, Banten ini, disiarkan oleh RRI Yogyakarta. Bung Karno yang sudah berkantor di Ibu Kota Yogyakarta menyenangi sandiwara radio ini. Sebaliknya Belanda merasa terganggu, dan sutradara Iskak ditawan.
Dari sekadar berpasangan dalam sandiwara radio, hubungan Hoegeng – Mery berlanjut ke kenyataan. Dilamarkan oleh ayah dan ibunya, Hoegeng yang masih Mayor AL menikah dengan putri dr. Sumakno itu pada 31 Oktober 1946. Acaranya, berlangsung di rumah mempelai putri, Jalan Jetis 37 Yogyakarta. Hadir saat itu antara lain KSAL, M. Nazir, teman-teman Hoegeng sesama di Akademi Polisi, Iskak, dan dr. Hirjan.
Kembali ke Polisi
USAI pernikahan, Hoegeng masih tinggal di Hotel Merdeka bersama seorang stafnya di AL. Entah bagaimana, kebetulan pula di hotel itu juga menginap R.S. Soekanto. Mereka bertemu dan bicara-bicara. Rupanya, KKN pertama itu akan menghadiri sidang kabinet.
Lebih dari seorang KKN, Soekanto adalah salah saorang guru Hoegeng ketika menjalani Pendidikan perwira di KPT Sukabumi pada zaman Jepang. Mengetahui Hoegeng menjadi anggota AL, Soekanto berkata, “Apakah Hoegeng tidak sayang dan malu masuk Angakatan Laut, karena Kepolisian Indonesia masih berantakan dan perlu dibenahi dan dikembangkan.” Omongan Soekanto ini berkebalikan dari omongan Nazir sewaktu “merayu” Hoegeng jadi anggota AL.
Mungkin karena kata-kata dan sikap kebapakan Soekanto, kenang Hoegeng, ia yang alumni sekolah kepolisian merasa malu. Hatinya terketuk untuk kembali menjadi polisi. Seketika terbayang kembali idolanya saat masih murid HIS dan MULO, Pak Ating Natadikusumah, Kepala Kepolisian Karesidenan Pekalongan. Ia pun memutuskan kembali ke Kepolisian.
Dengan pangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP), waktu itu Hoegeng juga adalah mahasiswa Akademi Polisi Yogyakarta. Nama sebelumnya Sekolah Polisi Negara Bagian Tinggi (di Mertoyudan, Magelang, Jateng). Diresmikan 17 Juni 1946, kuliah Akademi Polisi ini baru dimulai 1 Juli 1946. Karena masih dalam suasana revolusi, mahasiswanya juga dilibatkan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Nama institusi kepolisian waktu itu Djawatan Kepolisian Negara RI dengan pucuk pimpinan KKN.
Pasca penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada RI, beriringan kembalinya ibu kota negara dari Yogyakarta ke Jakarta, Akademi Polisi pindah pula ke Jakarta. Setelah KKN I bersama para guru besar melakukan pembahasan, Akademi Polisi diubah menjadi Perguruan Tinggi Kepolisian (PTIK). Perguruan tinggi kedinasan polisi ini dibuka pada 1950. Mahasiswanya polisi (dari Akademi Polisi Yogyakarta) dan dari umum. Setelah lulus, para lulusan berhak atas gelar akademik doktorandus (Drs) (Awaloedin dkk., 2007: 235 – 237).
Hoegeng adalah lulusan PTIK Angkatan I/ Parikesit pada 1952. Ia seangkatan dengan antara lain Siswadji (Letjen, kini Komjen), Ostenrijk, Ratna Atmadja, dan Mr. Soebroto (Irjen). Selain itu, juga Katik Soeroso, Bill Mardjaman, Harsidik, dan Wim Sumampouw (Yusra dan Ramadhan, 1993: 189). Mereka termasuk di antara yang setelah lulus dari PTIK dipanggil untuk memperkenalkan diri kepada BK di Istana. Saat itu, ketika tiba giliran Hoegeng, terjadi “dialog hangat” anak Pekalongan itu dengan BK.
Terkait historikal PTIK, Hoegeng yang memang berbakat dan senang melukis, merupakan sosok yang ikut menciptakan lambang PTIK. Tiga lambang, yaitu PTIK, Polri dan Brimob mulai dibuat ketika masih di Yogyakarta. Lambang-lambang tersebut dibuat atas penugasan KKN I, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo dan dikreasi setelah mendapat masukan dari berbagai pihak.***