Kolom  

10 November dan Bapak Brimob Moehammad Jasin (1)

Suryadi
Pemerhati Budaya & Kepolisian

Tanggal 10 November diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai Hari Pahlawan. Momen ini erat berkait dengan Proklamasi Kemerdekataan Republik Indonesia (RI), 17
Agustus 1945. Kedua momen, begitu monumental .bagi tetap merdeka dan berdaulatnya Indonesia.

Memproklamasikan kemerdekaan atas nama bangsa, seperti diperankan oleh Bapak Bangsa, Bung Karno – Bung Hatta, tentu menuntut keberanian disertai kecerdasan dan kearifan. Apalagi, proklamasi dilaksanakan di saat penjajah fasis Jepang belum mau menyerah, dan pada saat hampir bersamaan
Belanda masuk membonceng Sekotoe dengan
sangat nafsu untuk menjajah kembali Indonesia. Bapak Brimob, Moehammad Jasin, adalah tokoh yang terlibat sangat jauh dalam Peristiwa Soerabaja November 1945. Pada 14 November 2022, Brimob Polri berusia 77 tahun .

MESKI Moehammad Jasin mungkin tak sepopuler nama tokoh-tokoh pejuang yang lain, ternyata Bapak Tentara Nasional Indonesia (TNI), Jenderal Soedirman amat akrab mengenalnya. Bahkan, Panglima Besar (Pangsar) Soedirman memantau dengan saksama sepak-terjang putra Bone kelahiran Bau-Bau, Sulawesi Tenggara (Sultra) itu.

Berikuti ini petikan dialog yang berubah menjadi “percakapan segitiga”, saat rombongan Jenderal Soedirman “dicegat paksa untuk sembunyi” agar selamat dari pemboman Belanda di masa Agresi II:

** Kamu tidak tahu siapa yang lewat…, ini Jenderal Soedirman!
+ Kuwi sopo yo (seseorang bersuara menyeruak dari dalam tandu: itu siapa ya)?
– Moekari dari MBB (Mobile Brigade Besar)
+ Opo MBB-ne Jasin (suara lemah seseorang dari dalam tandu terdengar lagi: Apa
MBB-nya Jasin)?
– Ya Pak, saya anak buah Pak Jasin.
+ Anak buah Jasin nang ndi-ndi kok onok (lagi, terdengar suara
lemah dari arah tandu: anak buah Jasin kok ada di mana-mana).

Suasana tegang sempat mewarnai dialog ajudan Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Soedirman dengan Moekari (-), anggota MBB Jawa Timur (Jatim) itu. Dialog kemudian, berubah menjadi “saling sahut segi tiga” ( lihat Tari, tanpa tahun [t.t], 91 – 92). Peristiwa ini terjadi ketika Moekari, mencegat dan ngotot agar Pangsar beserta rombongan sembunyi di tempat yang lebih aman. Sebaliknya ajudan Pangsar bersikeras untuk melanjutkan perjalanan.

Para ajudan Pangsar tidak tahu, Moekari adalah anak buah Moehammad Jasin, Panglima Mobil Brigade (Mobrig). Kepemimpinan Jasin dalam perjuangan melawan penjajah, khususnya di Jatim hingga Jawa Tengah (Jateng), terpatri di hati Panglima Angkatan Perang RI, Soedirman (+). Ini, antara lain, terbukti pada “saling sahut segi tiga” yang di awal tadi.

Momen itu masih dalam suasana Agresi Militer II Belanda. Pangsar dalam perjalanan kembali ke Jateng dari Sawahan, Nganjuk, Jatim. Pangsar dan rombongan, dicegat oleh Moekari dan kawan-kawan yang berjaga di Pos Pulungan, Ponorogo, Jatim. Meski ditandu, Pangsar yang saat itu dalam keadaan sakit berat (TBC), tetap memimpin perjuangan gerilya. Ia diajudani oleh Tjokro Pranolo dan Soepardjo Rustam (**).

Tjokropranolo (Noli) dan Soepardjo, terakhir masing-masing purnawirawan Letjen TNI dan pernah menjadi Mendagri dan Gubernur DKI Jakarta di masa Orde Baru. Keduanya, seperti halnya Soedirman dan Jasin (Pahlawan Nasional I dari Polri), telah almarhum.

Tak lama setelah “cegat-paksa” tersebut, apa yang terjadi? Pesawat pasukan Belanda melakukan serangan udara membombardir daerah yang akan mereka lewati dan sekitarnya. Selamatlah Pangsar Soedirman dan rombongan. Setelah serangan berlalu, salah seorang di antara rombongan Pangsar sebelum meninggalkan tempat, berucap, “Matur nuwun yo Mas” (terima kasih ya Mas). Dalam hati Moekari, “Oh mari ngamuk, ngomong matur nuwun….” (Oh, habis marah, baru terima kasih).

Tindakan mencegat Pangsar Soedirman dan rombongan, papar Tari mengutip pengakuan ayahnya, Moekari, “Pak Dirman dan rombongan saya minta sembunyi di tempat yang lebih aman. Seperti ada yang memberi tahu saja saat itu. Ternyata benar apa yang saya katakan (pesawat Belanda menyerang, pen)” (t.t.:hal 92). Moekari terakhir purnawirawan kapten polisi (kini AKP), wafat dalam usia 94 tahun pada 13 Maret 2020 di Surabaya, Jatim
Pengakuan Pangsar Soedirman terhadap Jasin juga muncul pada 1947, sebagaimana Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang, Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia (MJSPMSPI, 2010). Pengakuan tersebut ditujukan kepada Jasin, sang pemimpin Kepolisian Indonesia berkemampuan tempur. Dari Jogjakarta, melalui surat tanggal 4 Agoestoes 1947, Pangsar bersurat kepada: Sdr. Jasin Kepala Mobgrig di medan pertempoeran Dj Timur (dalam tulisan tangan), yang antara lain (selanjutnya diketik, namun kemudian setiap menyebut saudara, tertulis dalam tulisan tangan), seperti penggalan berikut ini:
Merdeka, Kami melahirkan sjoekoer terhadap Toehan jang telah memperlindoengi
Saoedara dengan anak boeah sekalian dalam melaksanakan darma
soetji.Terima kasih atas pengorbanan jang telah diberikan, oentoek
menjelamatkan Iboe Pertiwi…. Belanda tidak akan bertahan lama, lebih2
djika teroes siang/ malam kita serboe setjara gerilia, sebagaimana jang
sama dilakoekan oleh anak-anak sekalian di Djawa Timoer. ….
Kami telah mendengar, bahwa Saudara dengan anak boeh sekalian
tetap akan menjalankan soempah setia kepada Toehan dan Iboe
Pertiwi dengan tekad yang boelat: “Lebih baik Negeri kita menjadi
laoetan api dari pada didjadjah kembali (digarisbawahi, pen). Kepala
Negara kita Boeng Karno poen telah memberikan dagorder (perintah harian,
Pen): Berdjoeang teroes dan reboet kembali tiap djengkal tanah jang telah
jatoeh di tangan moesoeh (digarisbawahi). …. (ed. Zachrie dan Wiwanto, 210: lampiran).
(Bersambung).

Jasa Kelola Website

Tinggalkan Balasan

Kuliah di Turki