Kolom  

10 November dan Bapak Brimob M. Jasin (2) (Pengakuan)

Suryadi
Pemerhati Budaya & Kepolisian

JENDERAL Soedirman, Pangsar TKR (kemudian TNI) namanya amat dikenal di seantero Tanah Air. Pengorbanan dan jasa begitu besar terhadap bangsa dan negara. Ia pantang menyerah, dan memilih selalu bersama pasukannya ketimbang harus menjalani perawatan di rumah sakit.

Sosok tentara pejuang kelahiran Purbalingga, Jateng, 24 Januari 1916 itu, meski dari atas tandu tetap memimpin perjuangan gerilya. Berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, baik di Jateng maupun Jatim. Ia meninggal lima hari setelah genap berusia 34 tahun. Tepatnya 29 Januari 1950.

Selain Soedirman, mantan Wakil Presiden (Wapres) dan Panglima TNI, Jenderal TNI Purn. Try Soetrisno, juga merasa tak asing dengan nama Jasin. Ia salah seorang saksi hidup yang mengetahui perjalanan terbentuknya Polisi Repoeblik Indonesia (PRI), di bawah kepemimpinan Jasin.

Kala terjadi Peristiwa Surabaya November 1945, Try Sutrisno, baru berusia 13 tahun. Sebagai kurir (tobang), Try tergabung dalam Batalion Poncowati. Tugasnya, mencari informasi di daerah-daerah pendudukkan tentara Belanda dan mengambil obat untuk Angkatan Darat Indonesia.

Di bawah kepemimpinan Inspektur Polisi Tingkat Satu (Iptu) M Jasin, Polisi Istimewa (yang “menyempal” dari Tokubetsu Satsu Tai, Polisi Khusus Jepang)  berperan penting dalam pertempuran Surabaya. “Kepemipinan Jasin telah menggerakkan arek-arek  (warga) Kota Surabaya untuk terlibat langsung dalam pelucutan tentara Jepang, sekaligus melawan tentara Sekutu yang datang ke Indonesia melalui Surabaya,” ungkap Try. Bertepatan dengan saat peresmian Monumen Perjuangan Polri di Surbaya, Senin, 18 Agustus 2018, Try didapuk menjadi Warga Kehormatan Brimob.

Pengakuan serupa tentang M Jasin, juga diberikan oleh para pelaku sejarah lainnya dalam Peristiwa Surabaya. Mereka, antara lain Jenderal TNI Pur. Muhammad Wahyu Sudarto (Zachrie dan Wiwanto, 2010: 1), Bung Tomo, Jenderal TNI Purn. Sukanto Sayidiman, Mayjen TNI Purn, Abdul Kadir Besar, dan Mayjen TNI Pur. Sungkono (Supomo dkk., 2016). Juga, Des Alwi Aboebakar, saksi mata dan penyiar radio Jepang,  seperti terungkap dalam bukunya, Pertempuran Surabaya November 1945 (PSN 1945, Des Alwi, 2012: 170 – 173). Mereka semua  kini sudah berpulang.

“Soerabaja” dan Jasin
PERISTIWA Soerabaja, agaknya, tak bisa dilepaskan dari kondisi – kondisi ini: Pertama,  Hindia Belanda (Indonesia), faktanya terus menderita kesakitan silih berganti dijajah oleh bangsa asing. Hal ini membuat bangsa Indonesia terus tertekan yang pada akhirnya meledak dan melawan sebagai reaksi. Manusiawi!

Ketika awal-awal masuk ke Hindia Belanda, Jepang mengampanyekan diri sebagai saudara tua seraya berjanji “suatu hari akan memerdekakan Indonesia”. Ini omong kosong, sebab malah  penderitaan yang mereka ciptakan selama 3,5 tahun menjajah beriringan dengan kepentingan mendapat dukungan logistik dan tenaga, demi berperang menghadapi Sekutu dalam kerangka penguasaan wilayah Asia, kuhususnya Hindia Belanda di Selatan Asia Tenggara.

Kedua, Indonesia secara sepihak sudah mengumumkan kemerdekaannya kepada dunia, lewat proklamasi di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, 17 Agustus 1945. Tetapi, kabar ini –karena alasan belum bagusnya  sistem komunikasi– tidak segera sepenuhnya tuntas tersebar merata ke seluruh Tanah Air. Apalagi luar Jawa. Ini mungkin yang justru kian membangun rasa panasaran yang membuncahkan  semangat bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan.

Ketiga, sejak sebelum kekalahannya benar-benar nyata bagi masyarakat di Tanah Air, terpantau dari siaran radio luar negeri, bahwa Jepang dalam meluaskan ekspansi jajahannya ke Asia makin melemah, setelah dirundung oleh gempuran-gempuran Sekutu, khususnya Amerika (1943 – 1944). Des Alwi yang bertugas sebagai operator radio Jepang menyebutkan, “Siaran tersebut dilakukan pada pukul 23.00 sampai 01.00 di-relay dan dipancarluaskan dari stasiun radio di Dayeuhkolot, Bandung dengan  daya pancar sebesar 10 kilowatt” (PSN 1945, 2012: 59 – 61).

Memasuki 1945, kabar lanjut tentang kian lemahnya Jepang di kancah pertempuran dengan Sekutu, makin santer terdengar di Indonesia.Terpantau kabar, bahwa wilayah penting Jepang, yaitu  Hiroshima dan Nagasaksi jatuh ke tangan USMC, pasukan Marinir AS. Hiroshima jatuh pada 6 Agustus 1945 dan tiga hari kemudian, 9 Agustus 1945, giliran Nagasaki jatuh pula.

Hancur porak-porandanya Hirsohima dan Nagasaki dibom oleh Amerika, merupakan kenyataan sebaliknya dari ketika 7 Desember 1941 saat Jepang memorak-porandakan pangkalan militer AS Pearl Harbour di Pasifik. Saat itu Jepang, melakukan serangan udara mendadak dengan mengerahkan para penerbang kamikaze terhadap pangkalanan militer AS.

Keempat,  para pejuang tahu bahwa Sekutu itu termasuk Belanda, selain Inggris  dan Amerika.  Inggris di masa lalu (sebelum Belanda), juga pernah menjajah Indonesia. Maka, masuknya Inggris mewakili Sekutu ke Indonesia dicurigai hanya akan menerima pengalihan kekuasaan (transfer of authority) Indonesia dari Jepang kembali kepada Belanda.

Dalam MJSPMSPI (Zachrie dan Wianto, 2010: 2), Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dr. Hubertus Johanes Van Mook telah mencapai kesepakatan dengan Jenderal Douglas McArthur, Komandan Pasukan Sekutu untuk wilayah Asia Pasifik Barat Daya (Southwest Pacific Area – SWPA). Kesepakatan Desember 1944 yang dikenal sebagai Civil Affair Agreement (CAA) itu menetapkan, pendudukkan militer Hindia Belanda kembali di Indonesia seusai perang. Dalam pelaksanaannya, pihak sekutu akan didampingi oleh wakil-wakil dari Netherlands Indies Civil Affair (NICA) sebagai penasihat sambil menunggu perintah dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Maka, segera setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, boleh jadi akumulasi keempat faktor signifikan tersebut –di antara faktor-faktor lainnya– telah kian membakar semangat para pejuang. Kemerdekaan Indonesia  harus dipertahankan habis-habisan, agar tertutup peluang bagi Belanda menjajah kembali. (Bersambung).

Jasa Kelola Website

Tinggalkan Balasan

Kuliah di Turki