Oleh: Pangihutan Simatupang (Saor)
Ketika nama Malin Kundang disebut, langsung terbayang legenda anak durhaka yang berasal dari Sumatra Barat. Malin Kundang berkisah tentang seorang anak yang durhaka kepada ibu kandungnya, karena itu, dia dikutuk menjadi batu.
Malin Kundang diceritakan berasal dari kalangan rakyat miskin, tinggal bersama ibunya. Suatu hari ia merantau, menumpang kapal seorang saudagar. Setelah sekian lama merantau, Malin Kundang menjadi saudagar kaya, memiliki banyak kapal dagang beserta anak buah. Setelah menjadi kaya, Malin Kundang pun menikah. Namun tidak mengakui ibu kandungnya dengan ungkapan kasar, ketika bertemu di tempat kelahirannya.
Ini legenda Malin Kundang, hanya sebuah legenda, entah tahun berapa terjadinya. Namun belakangan ini, di zaman now, tindakan Malin Kundang modern bermunculan di sejumlah daerah. Tidak hanya sekedar mempertontonkan kekasaran, tapi melaporkan ibu kandungnya ke polisi, hingga ke meja hijau.
Berperkara dengan ibu kandung di pengadilan, yakni perempuan yang mengandung selama sembilan bulan dan melahirkan, serta membesarkannya, si anak tidak merasa canggung, apa lagi penyesalan. Ini Fenomena dekadensi moral yang difasilitasi kepastian hukum yang berlaku di negeri ini.
Menyaksikan fenomena ini, para petinggi yang terlibat langsung maupun hanya sekedar penonton, terkesan tidak bisa berbuat banyak, sebab berlanjutnya atau tidak kasus abnormal ini, tergantung kepada anak dekadensi moral yang melayangkan laporan ke polisi.
Di sini peran polisi diuji dan dipertaruhkan, mempertahankan kepastian hukum atau berkeadilan, yang mengedepankan hati nurani. Dalam ‘gonjang-ganjing’ isu hukum anak melawan ibu kandung, ada juga kasus pelaporan ibu kandung yang ditolak polisi, di Polres Lombok Tengah, yakni masalah kepemilikan sepeda motor, seorang ibu tua dilaporkan anaknya.
Namun, tetap saja timbul pertanyaan, bahkan banyak yang skeptis atas kasus yang melukai kaum ibu ini, selalu bisa distop, alias tidak diproses. Karena kuncinya ada di tangan polisi dan sikap anomali anak untuk memenjarakan ibu kandungnya.
Angin segar
Pernyataan Komjen Listyo Sigit Prabowo di depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan sebagai calon Kapolri di Komisi III DPR RI, (20/1/2021), meniupkan angin segar bagi kaum ibu dan masyarakat kelas bawah. ‘Tak Boleh Ada Hukum Hanya Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas’.
Dijelaskan, sebagai contoh ke depan, tidak boleh lagi ada hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Tidak boleh lagi ada kasus Nenek Minah yang mencuri kakao kemudian diproses hukum karena hanya untuk mewujudkan kepastian hukum.
Tidak boleh lagi ada seorang ibu yang melaporkan anaknya kemudian ibu tersebut diproses.
Ke depan, kata dia, tidak boleh lagi ada kasus-kasus seperti yang dia contohkan di atas atau kasus lain yang mengusik rasa keadilan di masyarakat.
Menurutnya, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas, namun humanis. Di saat ini masyarakat memerlukan penegakan hukum yang memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
“Bukan penegakan hukum dalam rangka untuk kepastian hukum,” demikian ketegasan Komjen Listyo Sigit Prabowo.
Pernyataan yang jelas dan tegas, bahkan pernyataan tersebut bisa ditarik menjadi perintah awal kepada jajaran polisi untuk dijalankan setelah calon Kapolri ini dilantik.
Pernyataan tersebut bisa mengubah
perspektif terhadap hukum ke depan, khususnya bagi polisi yang langsung bertugas menangani perkara.
Dari pernyataan tersebut, tentu telah lahir ekspektasi tinggi dari masyarakat atas penanganan hukum di masa mendatang. Tinggal menunggu implementasi angin segar yang ditiupkan sang calon Kapolri, sambil meneriakkan ‘selamat tinggal kasus Malin Kundang Zaman Now’. ***