Terkait proses pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta, mahasiswa fakultas hukum dari Universitas Tarumanegara, Michael mengajukan permohonan untuk melakukan pengujian aturan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mahasiswa berusia 20 tahun tersebut, mengajukan permohonan pengujian atas Pasal 176 Undang – Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi UU.
“Penunjukan wakil kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik pengusung memakan waktu yang lebih lama daripada pemilu,” tulis Michael dalam suratnya, Sabtu (18/1/2020), terkait alasannya mengajukan pengujian aturan mengenai pemilihan Wagub DKI dalam surat permohonannya ke MK.
Dikatakan, proses pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta memakan waktu lebih lama, jika dibandingkan dengan proses pemilihan umum secara langsung oleh warga.
“Jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta telah kosong sejak 27 Agustus 2018 atau selama 1 tahun 8 bulan. Sedangkan untuk melaksanakan suatu pemilu sendiri (pemohon mencontohkan dalam pemilihan presiden 2019) bahkan sekelas presiden dan wakil presiden hanya memakan waktu dari 23 September 2018- 19 April 2019 atau hanya 7 bulan,” kata Michael dilansir antaranews.com, (18/1/2020).
Ia mencontohkan kosongnya posisi Wagub DKI merugikan masyarakat terbukti dengan kurangnya pengawasan pada pemanfaatan APBD DKI sehingga pada 2019 hanya sekitar 57 persen anggaran yang terserap.
Menurut Michael contoh itu menunjukkan kerugian konstitusional yang dialami tidak hanya dialami oleh dirinya sebagai pemohon namun juga dirasakan oleh seluruh warga DKI Jakarta. Permohonan pengujian aturan tersebut telah diterima MK pada Jumat (17/1) pukul 13.02 WIB dan diajukan langsung oleh Michael sebagai pemohonnya.
Sementara, Anggota DPRD DKI Jakarta Syarif dari fraksi Gerindra menyebut konstruksi gugatan mahasiswa Universitas Tarumanegara, Michael mengenai pengujian aturan pemilihan Wakil Gubernur DKI memiliki konstruksi yang lemah.
“Kami hargai proses hukum seperti itu. Kan kita negara hukum, namun demikian saya melihat kontruksi hukumnya (gugatan Wagub DKI) lemah,” kata Syarif (18/1/2020).
Syarif mengatakan pemilihan langsung untuk Wakil Gubernur DKI kurang pas untuk digugat karena saat ini pemilihan pemimpin baik Gubernur dan Wakil Gubernur harus satu paket. “Coba perhatikan kalau betul tuntutannya kan agar pemilihan Wagub dilakukan langsung, padahal yang dimohonkan pemilihan Wagub yang masa jabatannya karena mundur dan tidak terisi bukan karena hasil pemilu,” ungkapnya.
Relevansi gugatan dengan alasan- alasan yang mendasari permohonan Michael kepada MK terkait pemilihan Wakil Gubernur pun dinilai tidak berhubungan dengan sistem pemilihan posisi Wakil Gubernur DKI yang saat ini bergulir di DPRD.
“Menurut saya tidak punya relevansi dengan problem yang dituntut. Kan ini proses politik. Memang UU itu mengatur pemilihan,namun kerugian dalam perspektif hukum itu kuantitatif,yang biasanya tidak bisa diuji,” kata Syarif.
Syarif mengatakan proses pemilihan langsung ulang untuk Wakil Gubernur pun dinilai tidak efektif karena harus melakukan proses yang panjang untuk mencapai pengumpulan suara.
“Saya lihat ini lemah, gak bisa diandaikan, gimana caranya kalau pemilhannya hanya wakil gubernur, nanti siapa yang usulin? Bukan kah bakal panjang lagi, debat lagi, KPU harus ngurusin dari awal lagi,” kata Syarif.
Untuk diketahui seorang mahasiswa fakultas hukum Universitas Tarumanegara bernama Michael mengajukan permohonan pengujian aturan tentang pemilihan langsung Wakil Gubernur karena menilai DPRD DKI terlalu lama mengurus proses pemilihan pengganti Sandiaga Uno. Permohonan itu diterima MK pada Jumat (17/1) yang diajukan secara langsung oleh Michael sebagai pemohon. Dilansir Antara. *