Oleh : Suryadi
Pemerhati Budaya & Kepolisian
Silang pendapat tentang kata “hajar” dengan “tembak” terjadi antara seorang eks jenderal bintang dua (FS) dan Bharada (E). Mereka merupakan orang dekat satu. sama lain yang menjadi “terdakwa utama” terbunuhnya seorang bintara (J) yang perkaranya
sejak Oktober 2022 disidangkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel).
Soal vonis di ujung akhir persidangan kelak, itu
urusan majelis hakim; hak yang didasarkan atas undang-undang dan keyakinan mereka. Kelak mereka pula yang mempertanggungjawabkannya
di hadapan Yang Mahatahu dan Maha membolak-balikkan pikiran manusia.
Lantas, bagaimana memaknai “hajar” dan “tembak”?
Di negeri yang kaya akan kias dan “bapakisme” ini, ada Peribahasa lama: “Bahasa menunjukkan budaya bangsa”.
PERHATIAN publik, agaknya, sejak Juli 2022 hingga kini, tersita oleh kejadian yang populer dengan sebutan “Peristiwa Rumah Dinas di Kompleks Polri Duren Tiga” (“Peristiwa Duren Tiga”). Ruang tempat menyidangkan perkara itu di PN Jaksel, selalu penuh oleh “pengunjung setia” dan awak media. Sidang sudah memasuki bulan ke-7 atau bulan pertama di awal 2023.
Di salah satu persidangan (Selasa, 27 Desember 2022) “terdakwa utama” FS menyanggah kesaksian “terdakwa utama” lainnya, Bharada E. Mengaku bersalah dan bertanggung jawab atas terbunuhnya J, FS tetap mengklaim “cuma” memerintahkan “hajar” kepada E. Di lain pihak, E mengaku diperintah “tembak” oleh FS.
Terdakwa E adalah “Justice Collaborator” (JC) atau “saksi pelaku yang bekerja sama” untuk pembuktian peristiwa pidana (yang sebenarnya). Persidangan kini tengah menyidangkan perkara pembunuhan berencana terhadap J. Korban J tewas seketika ditembak, dalam peristiwa ini yang menurut pengakuan semula E, diskenariokan oleh FS sebagai peristiwa tembak-menembak.
Baik E, seorang tamtama Brimob, maupun korban tewas J, bertugas dalam Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri yang dipimpin oleh Jenderal FS. Sebagai orang dekat, E dan J merupakan dua di antara sejumlah ajudan (adc) FS. Sehari-hari J bertugas mengajudani PC, istri FS, sedangkan E secara bergantian dengan adc lainnya mengajudani FS.
Dalam persidangan, FS bersikeras bahwa penembakan terhadap J berlatar belakang ketersinggungan harga dirinya. Sebab, korban telah melecehkan istrinya ketika di rumahnya yang di Magelang, Jateng –bukan di rumah dinasnya di Duren Tiga, seperti ia sekenarionkan sebelumnya.
Benarkah latar belakangnya begitu? Biarlah pengadilan yang membutktikan. Bukankah aneh bila ada pembunuhan berencana tanpa motif? Tulisan ini coba menguak “hajar” dan “tembak” dalam arti dan permaknaan atas kedua kata tersebut.
*KAMUS*
BERSYUKUR bangsa yang senang berkias dan berbasa-basi dalam bertutur ini, memiliki banyak ahli bahasa dan Kamus hasil karya para bijak itu. Meski, mungkin, tak banyak yang berminat (kecuali yang memang menyenangi) untuk mendalami bahasa Indonesia secara keilmuan melalui pendidikan formal atau belajar sendiri (otodidak). Berbagai alasan bisa dikemukakan, termasuk soal peluang kerja.
Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (KBBI), kata Kamus diberi arti dalam tiga kelompok (2002: 499):
1) buku acuan yang memuat kata dan ungkapan, biasanya disusun menurut abjad berikut tentang makna, pemakaian, atau terjemahannya;
2) buku yang memuat istilah atau nama yang disusun menurut abjad serta penjelasan tentang makna dalam pemakaiannya; dan
3) keterangan diri, pikiran.
Bermacam-macam kamus dapat ditemukan, baik tentang kata menurut bahasa dari suatu suku, bangsa, maupun peribahasa, yang diberi arti ke dalam Bahasa Indonesia. Beberapa di antara kamus itu, selain KBBI yang disusun oleh Depdiknas – Balai Pustaka, ada pula Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia (KKSADBI) disusun oleh ahli bahasa J.S. Badudu.
Juga ada Kamus Belanda – Indonesia (W. van Hoeve); Kamus Inggris – Indonesia (KII, John M. Echols – Hassan Shadily), dan Kamus Bahasa Indonesia & Dayak Ngaju (KBI & DNg, Dr. Almalia Tara Elbaar dan kawan-kawan). Seperti halnya J.S.Badudu yang juga menyusun Kamus Peribahasa (KP), B.J. Marwoto dan H. Witdarmono kreatif menyusun Proverbia Latina, Pepatah-pepatah Bahasa Latin (PL PB, 2006). Menarik dan sangat kreatif!
Dengan kamus, orang terbimbing berhati-hati agar dapat menggunakan kata secara tepat. Malah, terkadang menjadi kreatif, misalnya, kerap terdengar orang berkata, “Tak ada kamus untuk menyerah”. Padahal, mungkin hanya ingin mengatakan: “pantang menyerah” atau “lawan terus”. Tetapi, mungkin lantaran memang tidak tahu atau “terlalu kreatif”, akibatnya tak sedikit pula yang menyimpang,
Kata “hajar” dalam KBBI disebutkan juga ”meng.ha.jar” yang diberi arti 1) memukuli supaya jera, 2) membuat tidak berdaya (2022: 380). Tak diberi batas sampai sejauh apa tidak berdaya yang dimaksudkan. Sementara kata “berdaya” diberi arti 1) berkekuatan, berkemampuan, bertenaga, dan 2) mempunyai akal untuk mengatasi sesuatu. Diberi contoh ”mem.ber.daya.kan” yang diberi arti membuat berdaya (2002: 241). Untuk kata “tembak” jika itu dimaksudkan dengan “me.nem.bak” (verb), oleh KBBI diberi arti melepaskan peluru dari senjata api (2002: 1165).
*RAGAM dan KONTEKS*
AHLI Bahasa Indonesia, Prof. Amran Halim (alm), di masa hidupnya dikenal ketat dalam penggunaan, pengartian, dan permaknaan suatu kata dalam Bahasa Indonesia. Namun, Amran yang terakhir menjadi Rektor Universitas Siriwijayaia (UNSRI) ini, juga bisa “memahami”, bila suatu kata digunakan dalam “macam” atau “jenis” apa, semisal “ragam jurnalistik”.
Dalam KBBI, kata “ragam” diberi arti bermacam-macam. Satu di antaranya mengartikan “ragam” sebagai “macam” atau “jenis”. Sementara kata “leksikal” diberi arti berkaitan dengan kata atau kosa kata (2002: 920 dan 653).
Bahasa Indonesia memberi ruang untuk memahami suatu kata secara tekstual, selain kontekstual. Artinya, “hajar” secara tekstual dapat dipahami secara normatif dan sesuai simbol-simbol tertulis. Sebaliknya, secara kontekstual, tidak hanya dipahami dari teks, sehingga diartikan sebagai sesuatu yang memiliki kaitan atau hubungan dengan konteks.
“Konteks” dalam “KSADBI”, di antaranya diberi arti “sesuatu di luar bahasa yang mendukung makna ujaran” dan “semua faktor dalam proses komunikasi di luar wacana, misalnya situasi”. Sementara “kontekstual” diberi arti berhubungan dengan konteks ( 2003: 194).
Dikenal pula, kata dan frase yang dapat dipahami secara “konotatif” dan “denotatif”. Konotatif diberi arti mengandung sifat konotasi, yaitu makna sampingan pada kata atau frase (2003: 192). Sebaliknya denotatif, yaitu sersifat denotasi atau makna yang mengacu secara lugas pada sesuatu di luar bahasa. Sifatnya objektif (2003: 54). Secara singkat, agaknya, bermakna “tidak yang sebenarnya” untuk konotatif, dan sebaliknya “yang sebenarnya” untuk denotatif.
Ahli Bahasa Forensik Universitas Negeri Semarang, Jateng, Subyantoro, mengartikan makna kata “hajar” yang dilontarkan FS saat memerintahkan E, bergantung pada konteks kalimat dan situasi. Bharada E diperintahkan oleh FS untuk menghajar Brigadir J saat ia tengah membawa senjata berisikan beberapa peluru di dalamnya. Subyanto menilai makna hajar bisa disesuaikan dengan konteks situasi saat itu (https://video.kompas.com/watch/233723, 27 Desember 2022, 21:46 WIB).
Tentang perintah “hajar” yang diperdebatkan oleh FS dan E dalam persidangan di PN Jaksel, saya jadi teringat “bereskan” yang kerap dilontarkan “para komandan” untuk “membereskan” orang-orang atau kelompok-kelompok yang tak sehaluan di zaman sebelum Reformasi. Harsutejo dalam buku ”Kamus Kejahatan Orde Baru, Cinta Tanah Air dan Bangsa” menulis (2010: 29), “Bereskan! Kata ini bisa berarti beres berdasarkan kelanggengan kekuasaannya (penguasa, pen) sampai bunuh!” **
–oo00oo–