Oleh: Dr. USMAR. SE.,MM
Berdasarkan hasil sensus Penduduk 2020 jumlah penduduk Indonesia mencapai 270,20 juta jiwa, dengan persentase penduduk usia produktif (15–64 tahun) sebesar 70,72 persen dari total populasi pada tahun 2020, dan penduduk usia nonproduktif (0–14 tahun dan 65 tahun ke atas) sebesar 29,28%.
Melihat data tersebut di atas, makin menguatkan bahwa Indonesia kini masuk dalam era Bonus Demografi yang diperkirakan akan berlangsung tahun 2015-2035.
Bonus Demografi (Demographic Dividend), adalah potensi pertumbuhan ekonomi yang tercipta akibat perubahan struktur umur penduduk, dimana proporsi usia produktif (15-65 tahun) lebih besar daripada proporsi usia Nonproduktif (0-14 tahun dan >65 tahun).
Bonus Demografi bukanlah sesuatu yang dapat terjadi berulang dinikmati oleh suatu negara. Tetapi bonus demografi ini suatu situasi yang hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu bangsa.
Suatu negara dapat menikmati bonus demografi apabila setiap orang menikmati kesehatan yang baik, pendidikan yang berkualitas, pekerjaan yang layak, dan kemandirian anak muda (usia produktif) yang dipadukan dengan kebijakan negara yang baik dan tepat ((menurut rumusan United Nations Population Fund (UNFPA)).
Adapun bonus demografi di Indonesia yang dimulai tahun 2015-2035, diperkirakan memiliki angka ketergantungan (dependency ratio berkisar antara 0,4-0,5) yang artinya bahwa setiap 100 orang usia produktif menanggung 40-50 orang usia Non produktif.
*MENGENAL APA SAJA SEBUTAN GENERASI*
Dalam mengklasifikasi keberadaan generasi muda, ada beberapa istilah sebutan pada generasi muda tersebut, yaitu sebagai berikut:
*1. Baby boomer*, yaitu generasi yang lahir setelah perang dunia kedua, antara tahun 1945 dan pertengahan 1960-an
*2. Generasi X atau GenX*, yaitu: generasi yang lahir dari baby boomer, antara pertengahan 1960-an dan awal 1980-an
*3. Generasi Y atau GenY*, yaitu Generasi yang lahir di era komputer, antara 1980 dan 1995
*4. Generasi Z atau GenZ atau milenial*, yaitu generasi yang lahir di era Internet dan sekitar abad ke-21, antara 1995 dan 2010
*5. Generasi Alfa atau Genalfa* adalah generasi yang lahir di era ponsel cerdas, setelah tahun 2010
Dari klasifikasi keberadaan generasi muda tersebut, terdapat beberapa ciri dan perbedaan kebiasaan atau perilaku generasinya. Sehingga untuk membuat kebijakan dan mengambil keputusan, idealnya dapat memahami secara sosiologis karakteristik dari keberadaan generasi tersebut.
Adapun generasi muda Indonesia yang mewarnai keberadaan bonus demografi, berdasar hasil Sensus Penduduk 2020, dari jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) sebesar 70,72 persen dari total populasi penduduk Indonesia 270,20 juta jiwa, didominasi oleh *Generasi Z* yang lahir pada tahun 1997–2012 dan *Generasi Milenial* lahir pada tahun 1981 – 1996.
Adapun proporsi Generasi Z sebanyak 27,94 persen dari total populasi dan Generasi Milenial sebanyak 25,87 persen. Kedua generasi ini termasuk dalam usia produktif yang dapat menjadi peluang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
*GENERASI MILENIAL DAN GENERASI “Z”*
Generasi Milenial sebetulnya adalah sebutan yang berkaitan dengan istilah milenium yakni penyebutan hitungan untuk setiap Seribu Tahun. Saat ini kita berada di Milenium yang kedua sejak tahun 2000.
Menurut para ahli bahwa generasi Milenial, adalah Kelompok anak-anak yang lahir pada awal 1980-an sebagai awal kelahiran, dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran.
Milenial juga dikenal sebagai Generasi Y, Gen Y atau Generasi Langgas yakni kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X).
*Karakteristik generasi milenial*.
Adapun karakteristik dari generasi milenial dapat dicirikan yaitu, antara lain sebagai berikut:
1) Gadget menjadi prioritas utama kebutuhan; 2) Eksistensialis yang dicirikan suka Selfie dan Wefie and Share; 3) Multitasking; 4) Cinta Kebebasan; 5) Suka yang serba Instan; 6) Cepat bosan; 7) Memilih Pengalaman Daripada Aset,
Sdangkan karakteristik generasi “Z”, dapat dicirikan antaralain sebagai berikut, yaitu
1) Bekerja keras untuk memastikan pendapatan yang stabil sepanjang hidup mereka.
2) Lebih banyak mengakses media sosial, tapi lebih sedikit berbagi tentang diri mereka sendiri di depan publik
3) Sangat paham tentang harga barang kebutuhan mereka, karena terbiasa melakukan komparasi harga barang secara online
4) Terlatih membuat perencanaan keuangan
*ERA REVOLUSI INDUSTRI 4,0 & SOCIETY 5.0*
Melihat gambaran struktur populasi penduduk Indonesia di atas, ada optimisme yang menggembirakan menggelayut di atas langit kehidupan sosial bangsa dan negara Indonesia dalam memotret masa depan.
Namun yang perlu disadari bahwa semua itu adalah baru potensi yang luarbiasa, yang membutuhkan penjagaan, pembinaan untuk dikembangkan yang tidak hanya unggul dalam kuantitas, tapi juga unggul dalam kualitas, di era revolusi industri 4.0 dan Society 5.0.
Seperti kita ketahui bersama, bahwa era Revolusi Industri 4.0 adalah merupakan fenomena yang mengkolaborasikan teknologi cyber dan teknologi otomatisasi, dimana konsep penerapannya berpusat pada konsep otomatisasi yang dilakukan oleh teknologi tanpa memerlukan tenaga kerja manusia dalam proses pengaplikasiannya.
Tentu ini dapat menjadi persoalan jika kita sekali lagi tidak cermat untuk mengelola penduduk usia produktif yang kuantitasnya sangat besar tersebut.
Perlu kita ketahui, bahwa ada tiga karakter utama era revolusi industri 4.0 bila dibandingkan dengan era sebelumnya yaitu: *inovasi, otomasi dan transfer informasi.*
Begitu juga Society 5.0 atau Masyarakat 5.0 adalah teknologi masyarakat yang berpusat pada manusia dan berkolaborasi dengan teknologi Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Thing (IoT) untuk menyelesaikan masalah sosial yang terintegrasi pada ruang dunia maya dan nyata.
Dalam konsep Society 5.0 ini mengusung keseimbangan dalam 5 unsur utama yang ada dalam kehidupan seorang manusia, yaitu; *Emosional, Intelektual, Fisikal, Sosial, dan; Spiritualitas.*
Jadi konsepsi Society 5.0 mengusulkan untuk memajukan potensi hubungan individu dengan teknologi dalam mendorong peningkatan kualitas hidup semua orang melalui masyarakat super pintar (super smart society) (Serpa & Ferreira, 2018).
Karena itu dalam mengelola bonus demografi yang sedang di alami Indonesia saat ini, di sektor pendidikan khususnya adalah bagaimana merancang metode dan program pendidikan yang mampu mengoptimalkan dan memaksimalkan semangat dan kemampuan dari generasi milenial dan generasi “Z”, yang kita miliki dengan jumlah populasi yang sangat besar itu, dengan menyelaraskan antara karakteristik dari generasi tersebut, dengan kemajuan dan fenomena di era revolusi Industri 4.0 maupun Society 5.0 tersebut.
*PELUANG DAN TANTANGAN ERA KINI*
*PELUANG*
Kemajuan teknologi era revolusi industri 4.0 dan society 5.0, menciptakan berbagai kemungkinan perubahan yang maha dahsyat, maka tidak mengherankan jika kelak generasi “Z” dan generasi Milenial, akan bekerja pada sebuah industri yang belum pernah terbayangkan.
Hakekatnya dalam kehidupan ini, hanya satu yang abadi yaitu *Perubahan*. Karena perubahan itu adalah suatu keniscayaan, maka menyiapkan metode dan program pendidikan juga harus senyawa dengan perubahan yang terjadi dan kemungkinan akan terjadi.
Adapun tiga karakter utama era revolusi industri 4.0, yaitu;
*1) Inovasi*, Semua bidang kehidupan yang berpacu menghasilkan ragam inovasi cipta dan karya untuk mempermudah kehidupan.
*2) Otomasi*. Banyak bidang pekerjaan yang mengubah dan mengurangi peran manusia dan digantikan penggunaan peran mesin
*3) Transformasi informasi* terjadi secara cepat karena dukungan internet dengan
Kapasitas penampungan data semakin besar tetapi ukurannya semakin kecil,
Dengan tiga karakter revolusi industri 4.0 di atas, maka peluang untuk menaikkan rata-rata pendapatan per kapita Indonesia, memperbaiki kualitas hidup, dan bahkan meningkatnya usia harapan hidup, adalah peluang yang terbuka lebar.
Karena esensi revolusi industri 4.0 adalah mendekatkan pasar kepada produsen. dengan menggunakan teknologi informasi. Jadi kekuatan utamanya dalam era ini adalah data dan informasi.
Dalam konteks ini para pelaku industri membuat interconecting komputer, yang dapat berkomunikasi satu sama lain untuk membuat keputusan tanpa keterlibatan manusia. Dan semua ini dimungkinkan dengan kombinasi dari sistem fisik-cyber, Internet of Things (IoT), dan Internet of Systems.
Nah, tinggal kita melihat dan bertanya, apakah kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi di periode kedua ini, yang memperioritaskan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam implementasi konsepsi pendidikan di Indonesia telah dirancang dengan menyelaraskan antara karakteristik generasi milenial dan generasi “Z” dengan fenomena yang berlaku di era revolusi industri 4.0 dan Society 5.0 ?
Karena inilah sejatinya peluang kita dalam mengotimalkan Bonus Demografi.
*TANTANGAN*
Dalam setiap peristiwa perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat, selain peluang tentu juga ada tantangan yang harus dihadapi.
Karena setiap generasi itu punya tantangan dan jawaban yang berbeda sesuai zamannya, maka begitu juga dengan tantangan di era revolusi industri 4.0 dan Society 5.0 ini.
Paling tidak ada empat hal yang dapat menjadi tantangan dalam mengelola Bonus Demografi yang berisi generasi Milenial dan Gnerasi “Z” itu, antara lain yaitu sebagai berikut :
*1. BRAIN DRAIN*
Brain drain atau human capital flight adalah sebuah konsep untuk melemahkan lawan dengan mengambil Sumber Daya Manusia mereka yang Unggul.
Secara umum target yang di incar dalam strategi brain drain adalah generasi muda potensial yang memiliki kecerdasan diatas rata rata.
Para generasi muda yang menjadi incaran ini, pada umumnya adalah akademisi dan peneliti, di berbagai bidang seperti, ahli komputer dan tekhnologi informasi, ahli astronomi, kedirgantaraan, dokter dan para ahli diberbagai bidang lainnya.
*2. PROXY WAR*
Proxy War, adalah penetrasi terselubung di mana salah satu pihak menggunakan orang lain atau pihak ketiga untuk melawan musuh. Jadi negara yang berseteru tersebut tidak serta-merta terlibat langsung dalam konflik tapi melibatkan ‘proxy’ atau kaki tangan
Dengan kemajuan teknologi informasi yang amat pesat, ditambah dengan karakteristik generasi milenial maupun generasi “Z” yang gadget minded, menjadikan penetrasi relatif gampang terjadi. Baik melalui berita hoax maupun dengan pendekatan lainnya.
*NEOCORTICAL WARFARE*
Neocortical Warfare adalah penetrasi tanpa menggunakan kekerasan langsung, tapi melemahkan lawan dengan menggunakan IPTEK. Hal ini dipicu oleh kemajuan Iptek, khususnya dalam biologi dan psikologi.
Dalam konsepsi Neocortical Warfare, cara yang dilakukan adalah dengan menerapkan pengaruh, ke hampir semua kendali perasaan simpati, melalui neocortex otak musuh.
Jadi dengan kemajuan teknologi infromasi yang sudah terhubung langsung secara global, maka untuk secara aktif menyelami pikiran lawan, agar tidak melawan, adalah bagaimana kita harus mengerti budaya lawan, nilai-nilai yang digunakan secara intens oleh lawan, pandangan politik lawan. Juga kita harus mengerti dan memahami bahasa dan komunikasi lawan baik yang verbal maupun non verbal, tidaklah sulit dilakukan
Dalam konsep Neocortical warfare, meyakini bahwa kehendak orang bersumber pada otaknya, khususnya bagian otak yang namanya neocortex. Karenanya jika otak itu dapat dipengaruhi, maka dengan sendirinya pikiran orang itu bergerak menguntungkan, sehingga dapat dimanupulasi sesuai kehendak penyerang.
*4. CYBER WARFARE*
Tantangan yang berikutnya adalah cyber warfare adalah penetrasi yang dilakukan didunia maya (cyber Space) dengan menggunakan teknologi canggih dan jaringan nircabel/wifi yang bertujuan untuk menguasai potensi aset di dunia maya.
Hal yang dapat dilakukan dalam Cyber Wafare, antara lain misalnya Hacking, yaitu kegiatan menerobos program komputer milik orang/pihak lain.
Selanjutnya juga bisa melakukan Cyber Sabotage adalah kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.
Selain itu ada juga yang disebut Cyber Attack, spyware dan lain sebagainya.
*PENUTUP*
Sebagai pemicu semangat kita dalam membangun sektor pendidikan, apa yang dikatakan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara bahwa “Jadikan setiap tempat sebagai sekolah, dan jadikan setiap orang sebagai guru”, dapat kita lakukan, tapi tetap dengan menyesuaikan dengan konteks kekinian yang selaras dengan perubahan yang terjadi.
Karena seperti yang juga pernah di ucapkan Nelson Mandela, bahwa *“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world”*.
Tapi yang perlu kita ingat bahwa “Kita menilai diri sendiri dari apa yang menurut kita mampu Lakukan, Sedangkan orang lain menilai kita dari apa yang kita telah Lakukan”.*
Untuk itu sebagai tanggung jawab moral kita bersama terhadap bangsa Indonesia, mari kita berpikir, bekerja dan berbuat untuk kemajuan bangsa tercinta ini.
Penulis: Ketua LPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)