Oleh: Dr.Usmar.SE.,MM
Ketika gemuruh lahirnya gagasan UU Cipta Kerja No.11 tahun 2020, bersatu dengan optimisme dan semangat untuk menghadirkan animo investasi asing masuk ke Indonesia, seolah jadi titik terang sektor ekonomi ditengah pandemi covid yang tak kunjung melandai.
Namun ketika menyeruak berita, bahwa raksasa Tesla batal melakukan investasi di Indonesia, bahkan akan membangun pabriknya di India, muncul beberapa persepsi dimasyarakat menyikapi hal ini.
Pertama, ada yang berpendapat, bahwa berbagai kemudahan melalui Instrumen Undang-undang Cipta kerja No 11 tahun 2020 itu, ternyata belum sesuai harapan, mungkin ada masalah yang belum selesai dalam memoles dan mengabarkan pada dunia bahwa Indonesia sudah friendly terhadap dunia investasi.
Pendapat kedua, beranggapan bahwa kita hanya unggul di sumber daya alam, tapi tidak dalam kualitas SDM yang dimiliki, Dan sebagainya.
Benarkah hal ini penyebabnya ?
TREND PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK
Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), pada tahun 2016, telah menyepakati Persetujuan Paris untuk Perubahan Iklim. Dimana dalam kesepakatan ini secara global bertujuan akan membatasi kenaikan temperatur global di bawah 20 C dan 1,50 C dibandingkan masa praindustri.
Untuk itu, negara-negara yang telah menyampaikan komitmennya perlu mengurangi emisi CO2 tahunan sebesar 2,7 persen untuk mencapai target 20 C dan 7,6 persen untuk mencapai target 1,50 C pada tahun 2020-2030.
Berdasarkan kajian Badan Energi Internasional (IEA), penyebab utama pemanasan global saat ini adalah sektor energi yang berkontribusi berkisar 70-75 persen pembentuk emisi CO2 dunia. Karena itu jika kesepakatan Paris tersebut sesuai target dapat tercapai pada tahun 2040 penurunan emisi gas CO2, maka secara global harus diturunkan minimal 52 persen.
Merujuk hal tersebut, terjadilah upaya yang sangat masif untuk menggantikan penggunaan kendaraan memakai energi fosil dengan kendaraan menggunakan energi Listrik.
Berkembang pesatnya kendaraan listrik (EV battery) di dunia, maka kebutuhan akan baterai sangatlah besar juga, dimana salahsatu bahan baku EV battery yang paling efisien itu adalah Nikel. Dan Indonesia memiliki 52 persen cadangan nikel dunia.
Ada tiga jenis baterai yang digunakan untuk kendaraan listrik saat ini, yaitu;
1) Nickel Cobalt Aluminium (NCA) dengan ketahan panas sekitar 150°C,
2) Nickel Mangan Cobalt (NMC), dengan ketahan panas sekitar 210°C,
3) Lithium Iron Phosphate (LFP). Dengan ketahanan panas sekitar 270°C.
Namun dari sisi biaya, produksi baterai jenis NCA sekitar US$ 350 per kWh, jenis NMC sekitar US$ 420, dan jenis LPF sekitar US$ 580, sehingga baterai yang menggunakan nikel dapat lebih murah US$ 70 – 230 untuk setiap kWh-nya.
Jadi tidak mengherankan melihat besarnya cadangan Nikel yang dimiliki, kemudian banyak perusahaan berlomba ingin melakukan investasi di Indonesia, termasuk di antaranya adalah Tesla Incorporation.
RAKSASA TESLA
Tesla Incorporation adalah pabrikan mobil listrik asal Amerika Serikat yang sejak juli 2003 kepemilikannya dipegang oleh Martin Eberhard dan Marc Tarpenning, dan sejak tahun 2008 CEO Tesla dijabat oleh Elon Musk, seorang CEO muda fenomenal kelahiran 28 Juni 1971 di Pretoria, Afrika Selatan yang juga menjabat sebagai CEO SpaceX, perusahaan transportasi luar angkasa.
Suksesnya Mobil elektrik pertama Tesla yang diberi nama Roadster yang dirilis tahun 2008, memecahkan rekor jarak tempuh uji coba sejauh 394 km dalam kategori mobil listrik, telah menaikkan pamor Tesla Inc, sehingga sepanjang tahun 2020 lalu nilai saham Tesla.Inc (TSLA) meningkat tajam mencapai 660 persen. Dan mampu mengantarkan Elon Musk berada di posisi kedua orang terkaya di dunia dengan US$ 170 miliar atau Rp 2.366 triliun.
Rencana Investasi Tesla di Indonesia
Diketahui bahwa proposal kerjasama dari Tesla Inc telah diterima pemerintah Indonesia sejak 4 Februari 2021 lalu, namun Opsi pilihan investasi Tesla di Indonesia adalah di bidang Energy Storage System (ESS), bukan bidang Battery Electric Vehicle (BEV).
ESS ini dapat kita umpamakan seperti ‘power bank’ dengan giga baterai skala besar, dimana fungsinya dapat digunakan menyimpan tenaga listrik besar hingga puluhan mega watt, bahkan hingga 100 MW untuk stabilisator atau untuk pengganti sebagai pembangkit peaker (penopang beban puncak).
Jadi secara rasional kalkulasi bisnis, pemilihan Tesla pada ESS dapatlah dipahami, mengingat pasar ESS ini besar dan bisa menjaga keandalan dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga 2020 di dalam negeri, telah terpasang 153,5 mega watt (MW) PLTS. Adapun PLTB mencapai 154,3 MW, Sedangkan potensi energi surya di Indonesia bisa mencapai 207,8 giga watt (GW) dan potensi PLTB mencapai 60,6 GW.
Tentang Investasi Tesla di INDIA
Perlu kita ketahui bahwa India, melakukan pendekatan dengan Tesla Incorporation, telah dirintis sejak tahun 2015. Pada waktu itu Perdana Menteri India, Narendra Modi telah melakukan kunjungan ke pabrik Tesla Inc.
Keseriusan dalam menggaet investor asing, India berencana menawarkan insentif hingga US$ 4,6 miliar kepada perusahaan yang mendirikan fasilitas manufaktur baterai canggih di India, di samping India juga banyak memiliki tenaga kerja yang menguasai teknologi.
Sebagai respon cepat dan seriusnya menggarap hal tersebut, India langsung menetapkan lokasi untuk tempat pendirian pabrik Tesla ini, yaitu Bangaluru atau Bangalore, ibu kota dari negara bagian Karnataka. Dan nantinya Tesla akan menggunakan nama Tesla Motors India and Energy Private Limited yang rencananya mulai beroperasi pada awal 2021.
MASIHKAH INDONESIA KOMPETITIF ?
Kalau melihat sumber daya alam yang kita miliki, dan situasi sosial politik kita relatif kondusif, serta berbagai regulasi yang telah dilakukan dalam menyederhanakan untuk investasi, tentu masih menjadi alternatif pilihan yang seksi bagi investor dalam berinvestasi.
Jadi hengkangnya raksasa Tesla dari Indonesia ke India, bukanlah investasi dalam bidang yang sama. Karena itu sebetulnya tidak dapat dikatakan hengkang, tapi memang pilihan jenis pabrik yang akan dibangun berbeda.
Seperti yang kita sebutkan di atas, di India Tesla Mendirikan pabrik di bidang Battery Electric Vehicle (BEV), sedangkan di Indonesia di bidang Energy Storage System (ESS).
Perlu kita ketahui, bahwa Tesla Incorporation ini, memiliki unit bisnis di bidang penyimpanan energi yaitu Powerwall dan Powerpack. Baik Powerwall maupun Powerpack merupakan baterai penyimpan energi listrik yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTB), sekaligus sebagai pendeteksi pemadaman listrik dan secara otomatis menjadi sumber energi rumah, saat jaringan mati.
Hanya dengan memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap atau panel surya (solar panel), maka Powerwall ini akan menyimpan energi matahari pada siang hari dan ini menjadikan penggunaan energi listrik tidak kuatir akan kekurangan atau kehabisan energi.
Dampak yang terjadi jika teknologi ESS sudah berkembang dengan baik dan sumber listrik dari PLTS dapat disimpan ESS, maka kecenderungan turunnya harga tarif listrik dibandingkan dengan tarif listrik sekarang ini, adalah suatu keniscayaan, sekaligus juga dapat mendorong percepatan pemanfaatan PLTS dalam negeri.
Meski sebetulnya teknologi ESS ini sudah digunakan di Indonesia, tapi masih pada pemanfaatan tertentu, seperti listrik di pedesaan yang menggunakan PLTS atau Pembangkit Listrik Tenaga Banyu/ Angin (PLTB), Uninterruptible Power Supply (UPS) di pusat-pusat data dan di stasiun penerima sinyal telekomunikasi (Base Transceiver Station/ BTS) GSM.
Kebijakan Indonesia Kini
Semangat mengubah konsep bisnis dalam memanfaatkan sumber daya alam dari commodity base menjadi downstreem sangatlah baik. Dengan produksi-produksi kita lihat hilirisasi, maka setiap tahapan yang dilalui sumber daya alam tersebut, mendatangkan value added serta nilai ekonomis dalam meningkatkan sektor pendapatan.
Sebagai ungkapan serius kita dalam merespon masuknya Tesla Incorporation, Presiden Jokowi telah memerintahkan pembukaan lahan seluas seluas 4.000 hektare milik PTPN IX di Batang. Untuk tahap pertama dibuka seluas 450 hektare, sehingga harapannya Indonesia dalam mendorong sektor ekonomi, dapat menyambut investor dengan pelayanan yang baik dan berdaya saing tinggi.
Penulis: Ketua Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta / Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional.**