Pemerhati Suryadi, M.Si: “Naik Kelas”, Brimob dan Pusdokes Representasi Tanggungjawab Kemasyarakatan Polri
Jakarta, BIJAK
Hari Bhayangkara 1 Juli 2022 agak beda dari tahun-tahun sebelumnya, bukan lantaran baru diupacarakan hari ini, 5 Juli. Naiknya eselon Korps Brimob dan Pusat Kedokteran Kesehatan (Pusdokes) jelang 76 tahun Polri sudah selayaknya menjadi pertanda kian konkret dan terlembagakannya tanggungjawab kemasyarakatan Polri.
“Apa kebutuhan masyarakat? Bertambah sejahtera, terutama dari sudut pemenuhan rasa aman yang berkualitas dan hidup lebih sehat. Pasti kenaikan eselon itu ditekadkan demi tanggungjawab kepada masyarakat dan negara,” kata pemerhati budaya dan kepolisian, Suryadi, M.Si kepada media, Ahad (3/6/22) di Jakarta.
Di tingkat pusat, Hari Bhayangkara baru diupacarakan di Akpol Semarang, Jateng, Selasa 5 Juli 2022. Sebagai prolog, jelang 76 tahun Hari Bhayangkara telah banyak dilakukan berbagai kegiatan.
Di antara beberapa kejadian yang mencoreng wajah Polri karena ulah negatif oknumnya dan banyaknya kritik yang ditanggapi positif oleh Kapolri, berbagai kegiatan diselenggarakan oleh institusi Polri. Dari yang seremonik sesaat, kata Suryadi, sampai kepada yang bersifat sosial atau kemasyarakatan.
Sebelum itu, lanjutnya, hari-hari insan Bhayangkara telah pula banyak diwarnai oleh keterlibatan dalam aktivitas yang mampu mengundang partisipasi masyarakat, demi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) sendiri.
Pada 7 Juni 2022 Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54/ 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 52/2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian (SOTK). Perpres ini antara lain mengubah-menaikkan setingkat lebih tinggi eselon Komandan Korps Brimob (Dankorbrimob) Polri menjadi 1A dan Kepala Pusdokes Polri menjadi 1B.
Keduanya adalah bagian integral dari Polri. Secara kelembagaan, eselonisasi Korps Brimob dan Pusdokes tersebut telah dikukuhkan oleh Kapolri. Kepangkatan masing-masing pimpinannya juga dinaikkan dari inspektur jenderal (IJP, bintang dua) menjadi komisaris Jenderal (komjen, bintang tiga) dan dari brigadir jenderal (brigjen) menjadi IJP. Keduanya masing-masing tetap dipegang oleh Drs. Anang Revandoko, M.I.Kom (Akpol 1988B) dan dr. Asep Hendradiana, Sp.An., M.Kes., K.I.C.
Brimob, urai Suryadi, adalah pasukan pamungkas Polri yang (harus) siap dikerahkan, ketika gangguan keamanan dalam negeri (kamdagri) dinilai sudah pada tingkat genting. Mulai dari huru-hara bertendensi anarkis sampai kepada gangguan kamdagri berupa separatisme yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Sementara Pusdokes, selain terlibat dalam penanganan medis pendukungan kepada pelaksanaan fungsi dan tugas kepolisian, juga memberikan pelayanan kemasyarakatan di bidang kesehatan.
Sungguh pun demikian, lanjut Suryadi, baik Brimob maupun Pusdokes adalah bagian integral dari Polri. Oleh sebab itu, lanjutnya, keduanya tidak bisa lepas dari Polri sebagai polisi sipil yang mengedepankan ketegasan dalam penegakkan hukum yang berkeadilan, tanpa mengabaikan prinsip humanis dan pelayanan berkualitas (secara umum, normatif lihat Pasal 30 (4) UUD 45 dan Pasal 13 UU No. 2/ 2002 tentang Kepolisian).
“Polisi itu pelayan dalam penegakkan hukum. Tidak mudah memang, karena bagaimanapun penegakkan hukum dan pelayanan sejalan dan bukan sekadar dapat dirasakan ada oleh masyarakat, melainkan berkelanjutan. Keduanya sejalan dan berjalan secara proporsional,” kata Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian (PUSKOMPOL) itu.
Di Alam Reformasi
Suryadi mengingatkan, Indonesia terutama di tengah perjalanan reformasi yang belum kunjung usai menuju demokrasi “bukan lipstick”, harus benar-benar disadari oleh Polri dan masyarakat untuk masuk bersama ke dalam satu kepentingan penegakkan hukum dan masyarakat yang tertib.
Polri itu, lanjutnya, penegak hukum yang bila salah melihatnya bisa dilihat sebagai sosok berwajah ganda, tetapi sudah memang sudah dari sono-nya “ditakdirkan” berwajah ganda (lihat Aneke Oase dalam Democratic Policing-nya Tito dan Kiki). “Polri itu penegak hukum ‘ya’, tapi dia juga pelayan masyarakat. Sementara kesadaran masyarakat dalam berhukum sangat dipengaruhi oleh kepentingan pribadi dan beragam kelompok, termasuk kelompok kepentingan dan politik,” urainya.
Padahal, objektif saja Suryadi mengingatkan, masyarakat itu sendiri sumber dari sumber daya manusia (SDM) Polri. “Masyarakat itu kan juga arena berkelindannya kehidupan sosial,” kata Wasekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) itu.
Maka, lanjutnya, sudah benar jika di satu sisi Polri mengedepankan pendekatan-pendekatan kemasyarakatan dengan tujuan utama pencegahan agar potensi gangguan kamtibas tidak eksplosif menjadi (beragam) tindak kriminal atau pidana.
Baik person maupun kelompok dalam masyarakat, lanjut Suryadi, sangat diharapkan berkesadaran penuh memberikan dukungan kepada Polri. “Baik partisipasi konkret mencegah maupun kritisasi tidak “omong doang” (omdo). Tidak menggoda aparat polisi untuk menyimpang, itu juga harus dilihat sebagai bentuk konkret keinginan masyarakat, di lain sisi polisi hendaklah juga merespon secara objektif – positif,” ulasnya.
Pada poin itulah, menurutnya, kenaikan kelas Korps Brimob dan Pusdokes, hendaknya dilihat oleh Polri dan masyarakat sehingga keduanya sama-sama akan masuk ke dalam ruang partisipasi yang proporsional.
Dengan demikian kepada masyarakat, Korps Brimob melalui upaya yang maksimal mampu memberikan terjaminnya rasa aman masyarakat secara optimal, terutama daerah-daerah yang rawan gangguan kamdagri dan yang merupakan episentrrum politik seperti Jakarta.
Demikian pula dengan Pusdokes. Di tengah “jeritan masyarakat” yang kerap membuat Pemerintah terpojok dalam memberikan layanan kesehatan, lanjut Suryadi, dapat memberikan layan kesehatan secara optimal, baik dalam pendukungan ungkap kasus-kasus kriminal mapun layanan kesehatan umum sehari-hari.**