MENYOAL NAIKNYA ONGKOS NAIK HAJI

Jakarta, BIJAK

 

MENYOAL NAIKNYA ONGKOS NAIK HAJI

Oleh: Dr. Usmar. S.E.,M.M

Bertemunya antara semangat yang kuat untuk menjalankan rukun Islam yang kelima, yaitu Naik Haji yang Wajib hukumnya untuk dilaksanakan bagi orang Islam yang sudah mampu, dengan kemajuan ekonomi masyarakat yang semakin membaik, menyebabkan meningkatnya jumlah jamaah calon haji di Indonesia.

Disisi lain jumlah kuota kuota yang diterima dari Kerajaan Arab Saudi yang sejak tahun 2017 masih berkisar antara 220.000 sampai 221.000 orang jamah per tahun, berdampak pada konsekuensi waktu tunggu antrian yang sangat lama bagi jamaah haji regular Indonesia yang mau menunaikan rukun Islam yang kelima tersebut.

Jika calon jamah haji mendaftar saat ini, maka untuk bisa berangkat harus menunggu dalam waktu yang sangat Panjang. Dan untuk setiap daerah di Indonesia berbeda waktu tunggu antriannya, contoh seperti di bawah ini:
– Jakarta masa tunggu keberangkatan setidaknya 25 tahun,
– Kalimantan Selatan 36 Tahun
– Jawa Timur 32 Tahun
– Nusa Tenggara Barat 34 Tahun
– Aceh 31 Tahun

Sehingga pada titik posisi tingginya semangat religiusitas masyarakat untuk berhaji dan membaiknya ekonomi masyarakat dengan terbatasnya kuota yang di peroleh Indonesia, seakan terjadilah hukum ekonomi *Supply-Demand* untuk beribadah.

Seperti kita ketahui, ramainya pemberitaan bahwa Kementerian Agama (Kemenag) mengusulan rencana kenaikan *Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH)* tahun 2023 naik sekitar 75 persen, dimana BPIH pada tahun 2022 sebesar Rp.39,8 juta menjadi Rp.69 juta per Jemaah untuk tahun 2023, menjadi polemik di masyarakat.

Merespon kenaikan BPIH untuk tahun 2023 yang cukup signifikan ini, banyak masyarakat yang berencana menyatakan mundur atau menunda keberangkatannya berangkat haji di tahun 2023 ini, karena besarnya tambahan BPIH yang harus mereka sediakan di luar prediksi kemampuannya.

*MEKANISME MENENTUKAN BPIH*

Besarnya BPIH yang di bebankan kepada masyarakat sebenarnya sudah termasuk subsidi yang diberikan dari nilai manfaat pengelolaan dana haji oleh *Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)*.

Adapun total Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2022 mencapai sebesar Rp.98.379.021,09, dan dari jumlah tersebut ditanggung jamaah sebesar Rp.39.886.009,00 atau sekitar 40,54 persen dan subsidi dari nilai manfaat pengelolaan dana haji oleh BPKH sebesar Rp.58.493.012,09 atau sekitar 59,46 persen.

Sedangkan untuk tahun haji di tahun 2023 ini total Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp.98,89 juta. Namun dengan rencana kenaikan BPIH yang ditanggung Jamaah sebesar Rp.69,19 juta, ini berarti calon jamaah menanggung sekitar 70 persen dari Total BPIH, dan sisanya sebesar Rp.29,7 Juta atau sekitar 30 persen diberikan subsidi dari nilai manfaat pengelolaan dana haji yang dikelola BPKH.

Melihat besaran komposisi BPIH di atas, yang semula pada tahun 2022 Subsidi dari nilai pengelolaan dana haji oleh BPKH diberikan sebesar sekitar 70 persen dari Total BPIH, dan di tahun 2023 ini hanya sebesar 30 persen, artinya terjadi penurunan subsidi dari BPKH sebesar sekitar 30 persen, sehingga wajar kalau kemudian timbul pertanyaan di masyarakat, bagaimana soal efektivitas dan efisiensi pengelolaan nilai manfaat dana haji selama ini oleh BPKH.

APA ITU BADAN PENGELOLA KEUANGAN HAJI (BPKH)

Dalam Rapat Paripurna DPR-RI pada 29 September 2014 lalu, telah menyetujui dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH). Selanjutnya Undang-undang tersebut ditandatangani pemerintah dan efektif berlaku mulai tanggal 17 Oktober 2014.

Tujuan dibentuknya BPKH adalah untuk meningkatkan tiga hal, yaitu :
a. Kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji;
b. Rasionalitas dan efisisiensi penggunaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH);
c. Manfaat bagi kemaslahatan ummat Islam.

Adapun akumulasi dana setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) pada 2014 mencapai Rp73,79 triliun. Dan pada tahun 2023 menurut BPKH dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja BPIH 2023 di Komisi VIII DPR, mengungkapkan bahwa total dana haji yang dikelola hingga Desember 2022 sebanyak Rp167 triliun.

Menurut UU 34 Tahun 2014, di Pasal 20 Ayat 4 tentang Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH), bahwa Pengelolaan Keuangan Haji dilakukan oleh BPKH yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden, dan dilakukan secara korporatif dan nirlaba.

Adapun keuangan haji meliputi:
a. Penerimaan yang meliputi: setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus, nilai manfaat Keuangan Haji, dana efisiensi Penyelenggaraan Ibadah Haji, Dana Alokasi Umum (DAU), dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat:
b. Pengeluaran (meliputi penyelenggaraan Ibadah Haji, operasional BPKH, penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji, dsb); dan
c. Kekayaan

Wewenang BPKH adalah:
a. Menempatkan dan menginvestasikan Keuangan Haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat;
b. Melakukan kerjasama dengan lembaga lain dalam rangka pengelolaan Keuangan Haji.

*Sedangkan Kewajiban BPKH*, di antaranya adalah:
a. Mengelola Keuangan Haji secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kepentingan Jemaah Haji dan kemaslahatan Umat Islam;

b. Memberikan informasi melalui media mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya secara berkala setiap 6 (enam) bulan;

c. Melaporkan pelaksanaan Keuangan Haji, secara berkala setiap 6 (enam) bukan kepada Menteri Agama dan DPR; dan d. Membayar nilai manfaat setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus secara berkala ke rekening virtual setiap Jemaah Haji.

Nah, untuk menyikapi besarnya kenaikan BPIH ini, masyarakat dapat memonitor apakah kinerja dari BPKH yang ditugaskan mengelola dana haji masyarakat sudah on the track sesuai Amanah Undang-undang.

Dan BPKH sendiri juga harus menjelaskan kepada masyarakat, mengapa terjadi penurunan besaran subsidi yang diberikan kepada masyarakat untuk BPIH tahun 2023 ini. Sehingga tidak menjadi tuduhan liar yang sulit di mengerti. Karena memang secara teori, jika masyarakat tidak memperoleh informasi, maka opini yang akan berkembang akan berdasarkan asumsi yang mereka miliki.

BERHARAP DARI REFORMASI EKONOMI ARAB SAUDI
Dengan telah disahkannya Draft reformasi ekonomi yang diberi nama Visi 2030 oleh kabinet negara Arab Saudi, yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan kapasitas haji menjadi 30 juta jemaah setiap tahun dan menghasilkan sebanyak 50 miliar riyal (13,32 miliar dollar) pendapatan pada tahun 2030. Sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi dari pendapatan minyak yang selama ini mencapai 87 persen.

Sehingga kemungkinan bertambahnya jatah Kuota jamaah Haji untuk Indonesia, tentu akan meningkat juga, sehingga dapat mengurangi panjangnya antrian dan lamanya masa tunggu jamaah yang mau menunaikan ibadah haji tersebut.

*Penulis: DEKAN Fakultas. Ekonomi & Bisnis Universitas Moestopo (Beragama), Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional*.

Jasa Kelola Website

Tinggalkan Balasan

Kuliah di Turki