Kolom  

10 November dan Bapak Brimob M. Jasin (3) (Proklamasi Polisi Indonesia)

Suryadi
Pemerhati Budaya & Kepolisian

DI Jawa Timur, arek-arek Surabaya (anak-anak muda warga dari beragam suku) bangkit melawan ketika Sekutu masuk lewat laut. Saat itu kesatuan-kesatuan yang sudah dilatih kemiliteran oleh Jepang, seperti Peta (Pembela Tanah Air), Heiho, dan Kaigun Butai telah dipulangkan oleh Jepang untuk waktu yang tidak ditentukan. Persenjataan mereka juga ditarik dan digudangkan oleh Jepang.

Dengan demikian, mereka yang masih menyandang senjata cuma mereka yang tergabung dalam Polisi istimewa Jepang (PIJ, Tokubetsu Satsutai). Pasukan PIJ terdiri atas polisi hasil bentukan Belanda sebelum Jepang menjajah, ditambah oleh mereka yang baru dididik menjadi PIJ.

Dalam pengakuan Moekari (Tari, tt: 09), usai pendidikan ia memulai tugas sebagai prajurit PI yang juga telah mendapat latihan berat militer Jepang (Sinto Kioreng). Jasin sebagai komandan dengan pangkat Itto Keibobo membagi tugas berpatroli seputar Surabaya –sesuai dengan yang sudah ada di zaman Belanda dan tetap digunakan oleh Jepang. Pembagian daerahnya, meliputi Seksi-seksi 1 (daerah) Wonokromo, 2 Darmo, 3 Bubutan, 4 Nyamplungan, 5 Kapasan, 6 Tanjung Perak. Ini masih ditambah dengan dengan Seksi Besar Hoofbureau dan Tokubetsu Satsu Tai.

Disadari atau tidak oleh Jepang, mereka itu terlatih dan kelak menjadi semacam boomerang bagi Jepang sendiri. Benar saja, mereka itulah yang kemudian berubah menjadi PI atau Pasukan Polisi Indonesia (PPI) di bawah kepemimpinan M. Jasin. Mereka sigap merampasi, melucuti, dan membongkar Gudang Senjata di tangsi Tokubetsu Satsutai Surabaya. Selain itu, Jasin juga yang secara resmi menerima penyerahan persenjataan dan panser-panser dari Jepang di berbagai tempat di Surabaya.

Pada era penjajah Belanda, tangsi polisi di Coen Boulevar, Surabaya, dikenal sebagal Kompleks “Don Bosco” (kini Sekolah Katolik St, Louis I). Di sinilah sekolah PIJ atau Tokubetsu Satsu Tai diaksanakan (Tari, tt: 06) sekaligus juga sebagai Markasnya. Di sini terdapat gudang persenjataan Jepang.

Dua pemimpin PI Jepang, Sidookan Takata dan Fuko Sidookan Nishimoto, ditahan. Kemudian ratusan personel PI dan pekerja di situ mengibarkan bendera merah-putih di tengah-tengah tangsi Tokubetsu Satsutai. Empat hari setelah proklamasi Kemerdekaaan RI di Jakarta, tepatnya 21 Agustus 1945, M. Jasin didukung para Pasukan PI memproklamasikan Polisi Repoeblik Indonesia (PRI):
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan
mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945 dengan
menjatakan Polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia”.

Di saat-saat seperti itu, militer Sekutu pimpinan Inggris diboncengi tantara Belanda masuk dari laut Surabaya. Dengan posisi seperti itu, oleh para pejuang gampang dibaca bahwa Sekutu akan mengantarkan Belanda menjajah kembali Indonesia. Apalagi, Inggris bertugas antara lain membebaskan orang-orang Belanda dari tawanan Jepang. Jadi, dua yang dihadapi Indonesia saat itu: Inggris yang memang memperlihatkan perangai akan mengembalikan Belanda menjajah, dan Jepang yang tak mau segera menyerah dan hanya mau menyerahkan Indonesia kepada Sekutu.

Perjuangan rakyat Surabaya dengan peran PI yang sangat signifikan di bawah kepemimpinan Jasin, tak terelakkan. Peristiwa Surabaya pecah. Pangsar Soedirman, mantan Pangilma TNI Try Soetrinso, dan para pelaku “Peristiwa Soerabaya” yang berpuncak pada 10 November amat memantau sepak-terjang perjuangan M Jasin. Bahkan, Jenderal TNI Muhammad Wahyu Sudarto (alm) bersitegas menyatakan (Zachrie dan Wiwanto, 2010: 1):
“Sebetulnya, pada “Peristiwa Surabaya” ada tokoh yang lebih
hebat tetapi di masa kini tidak banyak yang kenal. Namanya
Moehamamad Jasin, orang Sulawesi Selatan, Jika beliau tidak ada,
Surabaya tidak mungkin seperti sekarang ini. Beliau adalah
Komandan Pasukan Polisi Istimewa. Jika tugas Bung Tomo adalah
“memanas-manasi rakyat”, Pak Jasin ini memimpin pasukan tempur. ….”

Kenyataan Indonesia “yang lepas dari penjajah satu nyaris jatuh ke tangan penjajah kembali, kemudian menghadapi pemberontakan dalam negeri”, di mata para pejuang agaknya merupakan “momen yang bersamaan”. Di dalamnya, tak bisa dilepaskan dari kepemimpinan Pangsar Jenderal Soedirman. Sebagai bagian signifikan dari itu adalah kepemimpinan Moehammad Jasin di Jatim.

Dalam Agresi Militer II, Belanda membom Yogyakarta. Soekarno, Hatta dan sejumlah menteri lalu dibuang oleh Belanda ke Bangka. Belanda menguasai Ibu Kota RI Yogyakarta dalam tempo yang singkat. Sementara, Soedirman bergerilya dalam keadaan sakit parah dengan paru-paru sudah dikempiskan sebelah.

Perjalanan gerilya tersebut memakan waktu tujuh bulan, dari 19 Desember 1948 hingga 10 Juli 1949, menempuh jarak 1.000-an km dengan rute lintas Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Soedirman ditandu dalam pengawalan dengan ajudan, Supardjo Rustam dan Tjokropranolo. Rakyat secara sukarela ikut menandu Soedirman.

Rute perang gerilya Soedirman dimulai dari Bakulan (Bantul), Parangteritis, Gunung Kidul (Yogyakarta), Wonogiri (Jateng); Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Bajulan (Loceret, Nganjuk), Makuto Sawahan (Nganjuk), Ponorogo, Nglongsor (Tugu,Tengggalek), Nogosari (Ngadirejo, Pacitan), Wonogiri, Sobo (Pakisbaru, Nawangan, Pacitan). Lalu, kembali ke Yogyakarta melalui Tirtomoyo (Tirtomoyo Wonogiri), Pulo (Kasihan, Wonogiri), Karangmojo (Karangmojo, Gunungkidul), Piyungan (Piyungan Bantul), Prambanan (Prambanan, Sleman).

Pada rute gerilya itulah Soedirman kerap kali bertemu dengan pasukan MBB jatim pimpinan M Jasin yang terus melakukan patroli keamanan. Sehingga, Soedirman melontarkan kata-kata bermakna kagum dan kebanggaan, bahwa “Anak buah Jasin dari MBB Jawa Timur ada di mana mana.”

Dalam perjalanan kembali ke Yogyakarta di rute Makuto Sawahan (Nganjuk) menuju Pulungan, Ponorogo, perjalanan Soedirman dipaksa berhenti di pos jaga yang dijaga oleh personel MBB Jawa Timur, Moekari dan teman-temannya. Moekari, personel MBB tersebut bersikeras melarang rombongan meneruskan perjalanannya. Terjadilah “rebut-ribut” dengan pengawal Soedirman, yaitu Supardjo Rustam dan Tjokropranolo.

“Kamu tidak tahu siapa yang lewat, ini Jenderal Soedirman,” ujar pengawal Soedirman. Mendengar adanya ribut-ribut tersebut. Soedirman bertanya dari dalam tandu: “Kuwi sopo yo (itu siapa ya?). Saya jawab, ”Moekari dari MBB.” Opo MBB ne Jasin (apa MBB-nya Jasin)”, sahut Soedirman dengan suaranya yang sangat lemah karena pada saat itu ia sedang sakit dan ditandu dengan tetap memimpin jalannya gerilya. Saya jawab, ”Ya Pak, saya anak buah Pak Jasin”. “Anak buah Jasin nang ndi-ndi kok onok (anak buah Jasin kok ada di mana-mana)” (Tari, tt: 91 – 92).

Lalu, Soedirman dan rombongan bersembunyi di tempat yang aman. Tak lama, pesawat Belanda datang menyerang di tempat yang sedianya akan mereka lalu. Setelah aman, baru Soedirman dan rombongan melanjutkan perjalanan.

Dalam mempertahankan wilayah RI, selain melancarkan strategi perang gerilya di malam hari, Mobrig juga melancarkan strategi penyanggongan (pengintaian) setiap saat, tak kenal waktu. Strategi ini bertujuan menghancurkan setiap tentara Belanda yang coba melintas. Dengan strategi pasukan RI hasil didikan di masa Jepang ini, banyak Belanda tewas dalam setiap pertempuran, sebagaimana dikisahkan oleh Moekari dalam memoarnya.

Dalam penumpasan PKI 1948, Mobrig menghadapi basis PKI di Blitar yang juga sudah berkembang subur. Sebelumnya, PKI sudah menguasai Madiun. Jasin, yang mendapat informasi intelijen Mobrig mengenai adanya rencana PKI untuk menghancurkan kantor Kepolisian Blitar, langsung mengirim satu kompi Mobrig. Pembersihan Blitar berlangsung sangat singkat, urai Moekari. Kekuatan PKI saat itu kalah jauh dari MBB Jawa Timur.

Usai pembersihan Blitar, Kolonel Sungkono meminta Jasin menumpas PKI di Madiun. Segera saja, Jasin mengerahkan tiga Batalyon. Dengan memuntahkan tembakan-tembakan mortir 9 mm, serangan-serangan PKI terhadap pasukan Mobrig, langsung terhenti. Kemudian, Mobrig melucuti senjata berat PKI yang menghalangi jalannya ke Madiun.

Di Madiun, PKI telah menyerang para tokoh agama, ulama, tantara, polri, masyarakat sipil. Bahkan markas Mobrig di situ pun dikuasai. Namun, ketika Mobrig dari Blitar tiba di Madiun, banyak anggota PKI sudah pergi, karena mereka tahu akan diserang. Tanggal 30 September 1948, PKI digempur oleh Mobrig di Utara yang dipimpin oleh Jasin berkekuatan tiga batalyon. Dari arah Selatan dikepung oleh pasukan Siliwangi dipimpin oleh Umar Wirahadikusuma, Kolonel Sungkono dan Kolonel Gatot Subroto dengan kekuatan tujuh batalyon. PKI kocar kacir, Madiun berhasil dikuasai oleh Republik. (Tari Moekari, t.t: 70-80). (Bersambung).

Jasa Kelola Website

Tinggalkan Balasan

Kuliah di Turki