Jakarta, BIJAK
Disorientasi menghinggapi banyak anak bangsa ini di tengah keasyikan dengan “mainan” bernama kebebasan, yang mereka anggap hanya kebebasan itulah demokrasi. Pada saat yang sama terdapat penegak hukum yang khawatir dinilai tidak demokratis.
“Dalam kondisi seperti itu, sadar atau tidak sadar, sebenarnya mereka telah kehilangan musyawarah. Padahal, musyawarah itulah demokrasi Indonesia. Musyawarah itu merupakan kekayaan khasanah budaya bangsa ini sendiri,” kata Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Suryadi, M.Si kepada media, Sabtu (4/12/21) di Jakarta.
Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian (PUSKOMPOL) itu mengatakan hal tersebut, menyusul sehari sebelumnya Presiden Joko Widodo menegaskan, “Hormati kebebasan berpendapat dan serap aspirasinya, tapi ketegasan juga jangan hilang dari Polri. Kewibawaan juga jangan hilang dari Polri”.
Pernyataan tersebut disampaikan Presiden ketika memberi pengarahan dalam apel Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) Polri di Denpasar, Bali, (news.detik.com, Jumat, 03 Des 2021 11:36 WIB). Menurut Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Dr. Dedi Prasetyo, acara tersebut diikuti oleh Kapolri berikut 27 pejabat utama (PJU) Polri dan 102 Kapolda beserta para Kepala Biro Operasi dan Dirintelkam.
Tersiar melalui video akun YouTube Sekretariat Presiden, Presiden menyentil para Kapolres dan Kapolda baru yang sowan kepada sesepuh Ormas yang justru kerap ribut. Tak disebut siapa Kapolda dan Kapolres baru serta tokoh Ormas yang dimaksudkan.
Seperti melontar unek-unek, Presiden mengaku, sudah lama sekali ingin menyampaikannya kepada Kapolda dan Kapolres tersebut. “Bener ini, saya tanya ke Kapolres. Kenapa bapak melakukan ini? Supaya kotanya kondusif (jawab Kapolres, pen). Tapi apakah cara itu betul? hati-hati jangan menggadaikan kewibawaan dengan sowan kepada pelanggar hukum. Banyak ini saya lihat. Saudara-saudara harus memiliki kewibawaan. Polri harus memiliki kewibawaan,” ujar Jokowi.
Disorientasi
Mungkin aja, kata Suryadi, sowan-sowan yang dilakukan oleh Kapolres baru tersebut, didorong oleh rasa khawatir polisi dinilai antidemokrasi. Tugas hari-hari polisi saat ini nyaris tak lepas menghadapi kebebasan yang sudah mewujud jadi semacam mainstream dalam gerakan-gerakan massif yang dihadapi Polri.
“Takut dianggap antidemokrasi, jadi sowan itu menjadi salah satu pilihan,” duga Suryadi. Tentang pernyataan Presiden di hadapan para Kasatwil di Bali, menurutnya, mencerminkan rasa khawatir Presiden bahwa wibawa Polri sebagai penegak hukum terdegradasi.
Pada saat yang sama, lanjutnya, sebenarnya Presiden juga tengah berotokritik. Sebab, Polri itu “tubuh” Pemerintah sendiri yang menyelenggarakan pelayanan penegakkan hukum dan harkamtibmas.
Wibawa dapat terdegradasi oleh “relationship” polisi dengan sesepuh yang tidak tepat, menurut Suryadi, mungkin saja “iya”. Tetapi, itu bukan satu-satunya penyebab. Faktornya bisa datang dari internal Polri sendiri, selain dari eksternal.
Ia melihat dari faktor eksternal, banyak orang di tengah-tengah kehidupan masyarakat seperti mengalami disorientasi. Mereka, asyik dibuai oleh mainan bernama “kebebasan” yang seolah-olah hanya kebebasan itulah demokrasi.
Padahal, untuk kebebasan yang beretika, diperlukan pembiasaan menghormati hak orang lain. Tujuannya, lanjut Suryadi, agar matang dan dewasa bersikap sehingga tidak cuma bisa reaktif.
Tidak seperti kebanyakan sekarang ini, urainya, seolah bila tak direaksi dengan amat bebas ramai-ramai, tidak demokratis dan tidak modern. Padahal, para pelakunya telah dibuai oleh mainan bernama kebebasan.
“Akibatnya, sadar atau tidak, keasyikan seperti itu sudah menggerus musyawarah. Padahal, ini kan kekayaan khasanah budaya bangsa Indonesia sendiri…kok malah tergerus?”, tanya Suryadi.
Mengutip tokoh eksponen 1998 Dr. Usmar, ia mengingatkan, “Selayaknya, setiap orang atau kelompok dalam berdemokrasi, tahu dan mau membedakan mana kebebasan berpendapat, dan mana pula kebebasan berekspresi”.
Kurikulum Pendidikan
Untuk itu diperlukan edukasi dari yang sudah seharusnya punya andil besar bertanggung jawab signifikan, baik verbal maupun riil keteladanan. Ini, antara lain dari Partai Politik (Parpol) berikut para politisinya, kata Suryadi.
Tak kurang signifikannya, ia menguraikan, edukasi sebagai tanggung jawab dari mereka yang ditokohkah dalam bermasyarakat, baik karena alasan kearifan, kapasitas, maupun intelektualitas.
Sementara dari sisi internal Polri, Suryadi mengingatkan pentingnya secara terus menerus peningkatan kapasitas dan kualitas, baik kultural, moral, maupun keterampilan sebagai penegak hukum. Jumlah anggota Polri saat ini bergerak antara 450.000 dan 470.000 : 271 juta jiwa penduduk Indonesia.
“Dari hal-hal semacam itu, Polri layak banyak koreksi diri untuk segera berbenah sacara terbuka. Jangan asyik mematut-matut diri demi citra, karena citra itu cepat berubah bergantung pada arah datangnya sinar,” Suryadi mengingatkan.
Koreksi efektif, menurutnya, hendaklah dimulai dari pra rekrutmen berlanjut pada pelaksanaan rektrutmen. Kemudian, lanjutnya, kurikulum pendidikan yang mengakomodasi muatan moral dan keteladanan dari “role model” Polri yang layak dipertahankan dan dikembangkan selama berkarir dan bertugas di tengah-tengah masyarakat.**