Jakarta, BIJAK
Anak menuntut orangtua secara hukum seolah telah menjadi hal yang
wajar belakangan ini, ironisnya selain beberapa kasus yang disebabkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hampir sebagian besar persoalan anak gugat orangtua dengan motif ekonomi, atau tepatnya terkait harta waris.
Seperti kasus sengketa tanah dan rumah antara anak selaku penggugat dengan Ibu dan 4 saudara kandungnya sebagai tergugat, yang telah bernglangsung lama dan masih bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Sumber, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Dalam persidangan yang tengah memasuki pembacaan dan penyerahan Duplik dari tergugat 1 hinga tergugat 5 pada Rabu (27/1/2021). Seperti yang disampaikan kuasa hukum para tergugat Ramadi, SH. Dimana Duplik atas Replik dari penggugat sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan Rekopensi penggugat.
Menurutnya, oleh karena itu, para tergugat memohon agar majelis hakim menerima Duplik tersebut untuk seluruhnya, menolak Replik dan gugatan penggugat secara keseluruhan atau setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat diterima dan menghukum penggugat
untuk membayar biaya perkara.
Seperti yang telah diberitakan berbagai media, sengketa ini berkaitan dengan tanah dan rumah waris dari Ibu bernama Bawon, yang harus dibagikan kepada seluruh ahli waris, namun diklaim salah seorang anak atau penggugat, sebagai miliknya.
Selain itu, dikabarkan telah merasa lelah dengan proses panjang sengketa tersebut, saat ini Ibu Bawon, banyak kehilangan harta untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Menanggapi maraknya kasus serupa, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Sonny Dewi Judiasih mengatakan, secara norma anak tidak diperbolehkan mengajukan gugatan ke orang tua. Tindakan ini tidak sejalan dengan norma yang ditetapkan dalam Undang-undang Perkawinan. “Ini sesuatu yang ironis,” kata dia, dalam keterangan resmi Unpad, Senin (25/1/2021).
Menurut Sonny, UU Perkawinan mewajibkan seorang anak untuk menghormati orang tua serta wajib memelihara jika anak sudah dewasa, berdasarkan Pasal 46 Ayat 1 dan 2. Karena itu, fenomena kasus anak gugat orang tua merupakan contoh dari ketidaksesuaian norma dari UU Perkawinan.
Sonny juga mengingatkan bahwa tidak seharusnya masalah pembagian harta dipermasalahkan saat orang tua masih hidup.
“Seharusnya pembagian waris dilakukan nanti setelah orang tuanya meninggal. Karena itu perlu dikaji apakah gugatan ini karena ada kepentingan ekonomi atau bagaimana,” ujar pakar hukum waris tersebut.
Namun berbeda jika gugatan dilayangkan terkait kekerasan atau penelantaran yang dilakukan orang tua. Sonny menjelaskan, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebut bahwa orang tua dilarang melakukan 4 jenis pelanggaran kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran rumah tangga.
Dalam kasus ini, korban berhak mendapatkan pendampingan dan perlindungan secara hukum. UU ini berlaku bagi anak dengan kategori belum berusia 18 tahun serta belum pernah menikah.
Di luar itu, kata Sonny, anak diharapkan menyadari betul siapa yang akan digugat. “Harus direnungkan kembali, apakah menggugat orang tua harus dilakukan atau tidak. Sepertinya tidak seharusnya mereka menuntut orang tuanya (dalam urusan harta),” kata Sonny.
Penulis: Red