Jakarta, BIJAK
Korupsi adalah tindakan pengkhianatan terhadap cita-cita hidup sejahtera sebagai bangsa yang merdeka. HUT Proklamasi Kemerdekaan RI di tengah bencana pandemi Covid-19, saat ini merupakan momen yang pas bagi peneguhan antikorupsi.
“Di momen ini, sebaiknya komitmen antikorupsi itu dikonkretkan, penanggulangan bencana khususnya pendistribusian bansos untuk mereka yang terdampak lanjut pandemi Covid-19, serahkan saja kepada instusi yang solid seperti TNI dan Polri,” kata pemerhati budaya, Suryadi, M.Si, Jumat (6/8/21) di Jakarta.
Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) tersebut mengatakan, pemikiran semacam itu perlu segera diwujudkan secara konkret, agar situasi bencana tak justru terus menjadi ajang kerakusan penilap bantuan kemanusiaan.
“Coba lihat, apakah ada data atau minimal pemberitaan media yang menyebut TNI dan Polri menilap bantuan sosial (Bansos) ketika mereka dilibatkan penanggulangan dampak bencana,” tanya Suryadi.
Sebaliknya, lanjut Suryadi bertanya, mengapa begitu tega di masyarakat kesusahan, para dokter, paramedis, TNI dan Polri berjibaku menangani Covid, ada pula petinggi yang mengkorupsi bansos.
Sampai saat ini, lanjut Suryadi, organisasi yang paling tertib dan (relatif) tidak diterpa kasus-kasus korupsi adalah TNI dan Polri.
Moral setiap personel TNI dan Polri masih jauh lebih terpelihara ketimbang mereka yang berasal dari institusi lainnya.
Moral dan sikap semacam itu dimungkinkan terbangun oleh komitmen dan loyalitas pada atasan dan institusi yang akhirnya bermuara pada politik tegak lurus kepada negara semata.
“Memang, aku Suryadi, untuk personel pada institusi yang memegang teguh hirarki satu komando, jauh lebih gampang untuk dipercaya dalam hal efektivitas pengendalian dan pengawasan,” katanya.
Tak dapat dipungkiri lagi, urainya, hal-hal seperti itu bisa berlangsung karena hidup berdisiplin bagi mereka sudah menjadi habit.
Selain itu, lanjutnya, TNI ada dalam satu garis komando dengan segala risiko yang jelas dan pasti. Sementara bagi Polri disiplin dan satu komando ke dalam adalah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.
Menurut Suryadi, hal semacam itu jelas mempunyai daya tekan yang kuat sehingga mereka terhindar dari perilaku murahan “maling di balik pengaruh dan kebijakan.”
Oleh karena itu, lanjutnya, sebaiknya penanggulangan bencana, khususnya distribusi bantuan sosial (bansos) yang bersumber dari APBN dan APBD diserahkan kepada TNI dan Polri..
“Di saat bencana alam atau bencana pandemi covid-19 seperti saat ini, tak terbantahkan lagi TNI dan Polri itu fokus sehingga tetap bisa diandalkan,” kata Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) itu.
Korupsi Bansos
Suryadi mengatakan, ketika TNI dan Polri dilibatkan dalam suatu operasi penyaluran Bansos untuk masyarakat, saat penanggulangan dampak bencana alam atau pandemi Covid-19 seperti saat ini, setidaknya belum pernah tersiar kabar adanya penyimpangan alias korupsi di kedua ini institusi tersebut.
“Coba lihat itu di Kemensos, ada menteri dan rombongan yang diadili gara-gara minta jatah dari pengadaan bansos. Ada pula saat izin ekspor benur dicabut, malah menteri dan rombongannya jalan-jalan ke luar negeri sambil korupsi,” kata Suryadi.
Ada pula terjadi korupsi dana pengadaan masker. Tindakan ini, lanjut Suryadi, bukan cuma ironi bila dilihat dari identitas kedaerahannya.
“Korupsi dana masker itu, di juga sangat ironis dilihat dari gencarnya kampanye agar selalu gunakan masker, dan biadab karena di tengah bencana kemanusiaan,” ujar Suryadi.
Penyerahan penanggulangan kepada TNI dan Polri, tidak hanya karena memang mereka teruji untuk dipercaya dalam pendistribusian.
Mereka itu bahkan, memang memiliki kapasitas untuk mengonfirmasi kebenaran lapangan secara detil tentang siapa-siapa yang layak atau tidak menerima bantuan sosial (bansos).
Perencanaan dan pendistribusian bansos oleh TNI dan Polri, tidak ada hubungannya dengan politik atau demokrasi. Mereka, lanjutnya, sudah membuktikan lebih bebas menjadi profesional berada di luar arena politik.
Para personel di kedua institusi itu, lanjutnya, berada dalam satu garis komando yang tertib dan amat jelas risiko yang bakal dihadapi bila melakukan penyelewengan.
Artinya, lanjut Suryadi, TNI dan Polri dalam mengambil tindakan, sangat tegas, efektif, dan tidak “ribet”. Sebelum prosedur dan aturan hukum diterapkan, sebagai institusi TNI dan Polri sudah bisa lebih dulu melakukan tindakan tegas berbasis disiplin, bahkan sampai dimungkinkan sampai pada tindakan pemecatan.
Dari segi pengorganisasian dan jumlah SDM yang didukung oleh ketahanan dan mobilitas perorangan serta peralatan, kata Suryadi, memang TNI dan Polri siap sampai ke pelosok-pelosok Tanah Air.
Saat ini kalau dilihat dari segi jumlah personel, TNI mungkin memiliki anggota 400 ribuan lebih dengan berbagai keahlian. Demikian juga Polri yang memiliki sekitar 470 ribuan personel.
Mereka itu, tanpa alasan apa pun kecuali sakit dan wafat, dituntut harus selalu tanggap dan siaga secara terorganisasi dengan baik. Mereka tersebar di posisi-posisi dalam jangkauan yang sudah diperhitungkan sejak awal, termasuk kemampuan beradaptasi saat menghadapi suatu perubahan mendadak.
“Semua sudah dalam posisi siap bergerak dalam kalkulasi strategi. Mereka sudah terlatih dan memang disiapkan untuk hal-hal.semacam itu,” Suryadi meyakini itu.
Pemberian kepercayaan pengorganisasian penanggulangan bencana dan pendistribusian bansos kepada TNI dan Polri, tidak perlu diikuti rasa curiga bahwa negeri ini akan kembali seperti di era otoriter sebelum 23 tahun lalu.
Indonesia sudah teruji untuk hal-hal semacam itu, dan dapat dipastikan tidak akan tejadi sepanjang sipil tidak menarik-tarik TNI dan Polri masuk kembali ke gelanggang politik
Sebab, lanjutnya, sejak 1999 TNI khususnya sudah berkomitmen berada dalam proses ikut mengantarkan Indonesia menuju negara demokratis dengan tidak lagi campur tangan dalam masalah-masalah politik.
“Tidak perlu ragu. Apalagi, saat ini kita dalam proses menuju negara demokrasi yang ditandai sensitivitas masyarakat yang makin terdidik dalam dunia komunikasi cepat,” kata Suryadi.
Pasca 1998, militer sudah kembali ke jati diri sebagai tentara profesional khas Indonesia.
Di masa lalu, lanjutnya, banyak pejuang laskar dan TKR, seusai berjuang merebut kemerdekaan atau seusai revolusi, dengan suka rela meninggalkan ketentaraan dan kembali begitu saja menjadi rakyat biasa.
Mereka itu, lanjut Suryadi, malah “membukakan ruang” bagi generasi pelanjut untuk berkarir di militer.
Akan tetapi, lanjut Suryadi, tentu saja mereka tetap mengikuti perkembangan dan tidak akan rela melihat siapa pun melakukan pengkhianatan termasuk melakukan korupsi.
Editor: Simpang