Jakarta, BIJAK
Kaget masih ada pimpinan sekolah yang menahan ijazah anak didiknya yang telah lulus, pemerhati budaya Suryadi, M.Si meminta seluruh Gubernur dan Wali Kota/ Bupati mempertinggi rasa malu dan peka terhadap masa depan generasi penerus bangsa.
Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) itu, Sabtu (27/8/21) di Jakarta mengatakan, tak boleh lagi terjadi hal serupa di Kota Bengkulu, empat siswa lulusan SMKN 6 ijazahnya ditahan oleh pimpinan sekolah.
Setelah berlaku otonomi daerah, sebagaimana diketahui, sekolah SMA atau setingkat menjadi domain atau tanggungjawab Provinsi, sedangkan SMP dan SD setingkat menjadi domainnya Bupati/Wali Kota.
“Otonomi itu jangan hanya tampak pada kekuasaan, tapi terimplementasi pada pentingnya kepedulian yang lebih pada dunia pendidikan. Bermalu lah. Apalagi saat ini di masa pandemi Covid-19. Masak ijazah baru diberikan setelah ditebus Rp 5 juta oleh wali kota. Walaupun sekarang katanya uang tebusan itu mau dikembalikan, tapi peristiwa sudah sempat terjadi… memalukan.” kata mantan guru itu.
Seperti pemberitaan media, Wali Kota Bengkulu, Helmi Hasan mendatangi SMKN 6 Kota Bengkulu, Selasa (24/8/21) untuk meminta agar pimpinan sekolah kejuruan menyerahkan ijazah kepada siswa-siswi yang bersangkutan.
Wali Kota datang bersama Wakil Wali Kota, Dedy Wahyudi, Sesko Arif Gunadi, dan anggota Komisi III DPRD Kota Bengkulu, Dediyanto, selain itu juga keempat siswa-siswi terkait. Bahkan, wali kota juga sudah membawa Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
Media memberitakan, sempat terjadi “pertengkaran” antara wakil wali kota dan kepala SMKN 6, kemudian wali kota mengeluarkan tebusan Rp 5 juta, baru Saripin selaku Kepala SMKN 6 menyerahkan ijazah kepada keempat siswa-siswi.
Kabar terakhir, Saripin akan mengembalikan uang tersebut. “Tapi kalau keempat siswa itu tidak mau, maka uang itu akan disalurkan kepada siswa yang tidak mampu, BhinnekaNews71, (26/8/21).
Saripin beralasan, terkait proses penerbitan ijazah lulusan, bukan cuma soal tunggakan SPP, tapi ada masalah lain yaitu pas foto, dan ada atau tidaknya buku pinjaman yang belum dikembalikan. Ia tidak menyebutkan hal lain tersebut juga menjadi hambatan bagi penyerahan ijazah kepada keempat lulusan SMKN 6 Bengkulu itu.
Kalau soal uang SPP, lanjut Saripin, jika memang siswa-siswi bisa menunjukkan keterangan tidak mampu, sekolah tidak akan menahan ijazah mereka. Media memberitakan, sebenarnya ketika mendatangi SMKN 6 Bengkulu, wali kota sudah menunjukkan SKTM.
Dengan alasan seperti dikemukakan pimpinan SMKN 6 Bengkulu, menurut Suryadi, terkesan ada alasan yang dibuat-buat. Sebab, pihak sekolah boleh saja menunggu persyaratan yang telah ditentukan datang dari si siwa.
“Tetapi kan siswa-siswi itu sudah tiga tahun belajar di situ. Seharusnya, tanpa pemberitahuan pun dari keluarganya, pihak sekolah sudah harus tahu siswa-siswi itu datang dari keluarga dengan latar belakang level ekonomi macam apa,” tukasnya.
Trio Penanggung Jawab
Ke depan, Suryadi mengingatkan, kejadian di Kota Bengkulu itu tidak boleh lagi terjadi di seluruh Tanah Air. Setiap guru termasuk kepala sekolah tak boleh lagi pasif membatasi diri hanya tahu ketika anak-anak berada “dalam kelas dan pagar sekolah.”
“Guru dan pimpinan sekolah itu wajib tahu apa dan bagaimana latar belakang kondisi keluarga siswa-siswinya. Bahkan, sampai harus tahu adakah kemungkinan kegiatan atau kesibukan yang ikut memengaruhi prestasi belajar siswa-siswi,” kata Suryadi.
Dia mengingatkan, dunia pendidikan itu mengenal “Trio Penanggung Jawab” kelangsungan pendidikan, yaitu orangtua/ keluarga murid, lingkungan/ masyarakat, dan pemerintah dalam hal ini sekolah. Ketiganya, lanjut Suryadi, harus serentak kompak peduli secara terpadu, tidak boleh terbelah sendiri-sendiri.
Untuk menghindari terjadinya hal serupa, Suryadi mengimbau agar seluruh kepala daerah di Tanah Air membuat kebijakan baku yang mengharuskan setiap guru dan pimpinan sekolah lebih peduli, sehingga tahu kondisi keluarga siswa-siswinya, berikut sanksinya bila tak memenuhinya.
Editor: Simpang