Informasi Publik yang Inklusif, Bukan Sekadar Wacana: KI DKI, Dinas Kominfotik & Universitas Sahid Mengupas Praktiknya
Jakarta,Bicara jakarta.com —
Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta bersama Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Provinsi DKI Jakarta bersinergi dengan *Universitas Sahid Jakarta* menyelenggarakan Seminar Keterbukaan Informasi Publik bertajuk “Inklusi Gender dan Disabilitas dalam Kebijakan Informasi Publik: Apa Kata Hukum dan Praktiknya?”
Kegiatan ini berlangsung di Auditorium Universitas Sahid, Jakarta Selatan, pada Senin (23/6).
Seminar ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik dan para pemangku kepentingan akan pentingnya akses informasi yang adil dan setara bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti penyandang disabilitas dan perempuan selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menjamin hak setiap warga negara atas informasi.
Dalam sambutanya mewakili Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, Komisioner Bidang E.S.A Ferid Nugroho, menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat terkait kebutuhan dan hak-hak penyandang disabilitas.
“Masyarakat perlu diedukasi bahwa teman-teman disabilitas memiliki kebutuhan khusus yang harus diperhatikan,” kata Ferid.
Sayangnya menurut Ferid, baru sebagian kecil yang diakomodasi secara layak. Padahal jumlah mereka tidak sedikit.
Ferid juga menyoroti peran mahasiswa, khususnya dari Fakultas Hukum, dalam isu ini. Menurutnya, mahasiswa memiliki tugas moral dan sosial untuk memberi perhatian lebih kepada kelompok disabilitas.
“Teman-teman mahasiswa perlu terlibat aktif. Mereka bisa menjadi agen perubahan yang menyuarakan hak-hak kelompok rentan ini,” tuturnya.
Dalam paparannya, Ferid menggarisbawahi pentingnya pengarusutamaan gender dalam kebijakan publik, termasuk dalam konteks keterbukaan informasi.
“Inklusi gender harus digaungkan. Informasi publik tidak mengenal jenis kelamin, artinya laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama atas informasi. Prinsip inklusi gender harus diutamakan,” tegasnya.
Ia juga berharap, materi seminar ini dapat menjadi bahan rujukan akademik bagi mahasiswa.
“Saya berharap apa yang disampaikan dalam seminar ini bisa menjadi masukan atau bahkan referensi untuk adik-adik mahasiswa Fakultas Hukum dalam menyusun skripsi atau makalah. Nantinya, Narasumber juga bisa dimintai keterangan lebih lanjut terkait bagaimana praktik inklusi gender diterapkan,” ujarnya.
Ferid turut mengaitkan pentingnya perspektif hukum internasional dalam memahami isu gender. Ia merujuk pada konvensi internasional seperti Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women(CEDAW).
“Dalam konteks hukum internasional seperti di PBB, khususnya melalui CEDAW, ditegaskan bahwa isu gender melekat dengan identitas jenis kelamin. Kalau dulu banyak kasus hukum yang bias gender, sekarang mulai ada perbaikan,” pungkasnya.
Rektor Universitas Sahid, Prof. Dr. Giyatmi, menyampaikan apresiasinya atas kolaborasi yang terjalin antara Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik (Diskominfotik), serta Universitas Sahid dalam rangka memperkuat literasi keterbukaan informasi publik.
“Kami berharap, melalui momentum peringatan HUT Kota Jakarta, kolaborasi ini menjadi rahmat dan energi positif dalam membangun sinergi antar-lembaga,” ujar Giyatmi saat memberikan sambutan dalam seminar keterbukaan informasi publik bertema inklusi gender dan disabilitas.
Ia menegaskan bahwa hak asasi manusia menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan informasi dan akses terhadap layanan publik. Namun, realitanya masih terdapat tantangan, khususnya bagi kelompok rentan.
“Semua orang berhak atas informasi. Tetapi, kita tidak bisa menutup mata bahwa masih ada hambatan yang dihadapi oleh kelompok rentan lainnya dalam mengakses informasi,” paparnya.
Menurutnya, seminar ini merupakan forum yang sangat berharga dalam merumuskan solusi konkret atas implementasi kebijakan keterbukaan informasi publik (KIP).
“Forum ini menjadi ruang strategis untuk mengkaji kerangka hukum yang mengatur keterbukaan informasi, serta bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Tujuannya adalah merumuskan solusi yang konstruktif dan berpihak pada keadilan sosial,” jelas Giyatmi.
Ia juga menegaskan bahwa Universitas Sahid memiliki tanggung jawab moral dan institusional untuk mencetak lulusan yang tidak hanya kompeten secara akademik, tetapi juga peka terhadap isu-isu sosial.
“Isu gender dan inklusi adalah cerminan dari nilai keadilan sosial. Kami memandang penting bagi mahasiswa untuk memahami dan memperjuangkan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan profesional mereka nanti,” tuturnya.
Terakhir, Giyatmi berharap diskusi ini dapat memperkaya wawasan akademisi dan menjadi katalisator bagi terciptanya kebijakan publik yang inklusif dan partisipatif.
“Diskusi ini merupakan ruang saling mencerahkan yang diharapkan mampu menambah wawasan dan kesadaran bagi dunia akademik. Mari kita jadikan momentum ini sebagai pijakan dalam menghasilkan kebijakan yang adil, setara, dan membuka ruang partisipasi bagi semua tanpa terkecuali,” pungkasnya.
Sementara itu, Narsumber sekaligus Komisioner Komisi Informasi (KI) Provinsi DKI Jakarta Bidang Penyelesaian Sengketa Informasi, Agus Wijayanto Nugroho, menegaskan bahwa tugas utama lembaganya adalah menyelesaikan sengketa informasi publik yang terjadi antara masyarakat dan badan publik.
” Banyak yang mengira Komisi Informasi itu pusat data. Padahal tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa informasi,” ujarnya.
Agus menyebut Momentum kolaborasi dengan Fakultas Hukum ini penting karena kerja Komisi Informasi sangat erat kaitannya dengan proses yudisial, yang output-nya berupa putusan. tambahnya .
Agus berharap mahasiswa hukum dapat lebih mengenal fungsi dan peran Komisi Informasi, karena keterbukaan informasi publik merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang.
“UU Keterbukaan Informasi Publik adalah produk inisiatif DPR yang menjamin hak masyarakat untuk tahu. Ini bukan sekadar teknis administrasi, tapi merupakan bagian dari jaminan HAM,” tegasnya.
Agus menjelaskan, tugas Komisi Informasi adalah menentukan apakah suatu informasi tergolong sebagai informasi publik atau bukan, serta apakah informasi tersebut layak untuk dikecualikan atau harus dibuka.
“Komisi Informasi hadir ketika ada sengketa antara pemohon dan badan publik. Jika badan publik tidak memberikan informasi yang semestinya dibuka, dan pemohon merasa haknya terlanggar, maka KI bertugas menyelesaikannya secara hukum,”* jelasnya.
Menurutnya, keterbukaan informasi merupakan bentuk akuntabilitas lembaga, terutama badan publik yang menggunakan dana negara maupun dana masyarakat.
“Sasaran utama keterbukaan informasi adalah badan publik, yakni institusi yang menerima anggaran dari APBN, APBD, serta sumbangan dari masyarakat atau luar negeri, baik seluruh maupun sebagian,” terang Agus.
Ia menambahkan, bahkan lembaga yang tidak bersumber dari dana pemerintah, tetapi menghimpun dan mengelola dana sumbangan masyarakat, tetap memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkannya secara terbuka kepada publik.
“Selama lembaga tersebut mengelola dana masyarakat, maka lembaga itu wajib tunduk pada prinsip keterbukaan informasi. Oleh karena itu, ia juga dikategorikan sebagai badan publik dalam konteks UU KIP,” pungkasnya.
Seminar ini turut menghadirkan narasumber lain seperti Praktisi Keterbukaan Informasi sekaligus Komisioner KI Pusat Samrotunnajah Ismail dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sahid dan penandatanganan MoU dan perjanjian kerjasama antara Universitas dan Fakultas Hukum.
Kegiatan diselenggarakan secara hybrid,diselingi dengan Kuis dan diikuti oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sahid serta peserta dari Badan Publik DKI Jakarta.