Oleh: Dr. Usmar. S.E.,M.M
Agnes Heller seorang filsuf dan dosen dari Hongaria mengatakan bahwa “politik identitas adalah gerakan politik yang fokus perhatianya pada “Perbedaan” sebagai satu kategori politik utama”. Politik identitas muncul atas kesadaran individu untuk mengelaborasi identitas yang partikular, baik dalam bentuk relasi seksual, maupun dalam identitas primordial etnik dan agama.
Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok, seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, baik sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Dengan melakukan sosialisasi dan interaksi yang berkesinambungan, target yang dinginkan adalah untuk mendapatkan legitimasi serta pengakuan sosial yang luas dari masyarakat. Tujuan akhirnya, politik identitas akan memunculkan sifat superior bagi satu kelompok terhadap kelompok lainnya.
Strategi implementasi Politik identitas dilakukan dengan cara mengemas sedemikian rupa untuk mendorong keberpihakan publik kepada seseorang/kelompok/komunitas, tanpa memperhatikan kapasitas dan kualitas kecerdasan dari yang ditawarkan untuk menjadi pilihan keberpihakan itu.
Hal ini dilakukan karena Politik identitas itu hakekatnya selain untuk menggalang kekuatan melawan hegemoni politik atau dominasi kelas sosial di luar kelompok mereka, juga tentunya dapat digunakan sebagai instrumen untuk mempertahankan kepentingan status quo, tentu saja dengan cara memanipulasi identitas dan taget politik yang sebenarnya.
*Politik Identitas di Indonesia*
Wajah politik identitas yang hadir ke permukaan yang ikut meramaikan dan mewarnai sejarah politik Indonesia di era reformasi, antara lain adalah agama.
Dalam konteks umat islam, dari perspektif perjalanan sejarah, agama dan politik adalah sepasang identitas yang sulit untuk dipisahkan. Upaya represif rezim orde baru yang menekan islam politik dan mendukung gerakan islam spritual dan kultural, tetap tidak bisa menghilangkan bahwa masih banyak umat muslim yang masih tetap percaya bahwa Islam adalah agama dan sekaligus negara dengan berbagai alasan penyebab yang membuat kepercayaan ideologis ini tetap eksis.
Revitalisasi Islam politik di Indonesia menemukan ruang ekspresinya di awal tahun 1990-an, sebagai dampak bertemunya perkembangan geopolitik global dengan dinamika politik domestik yang sedang terjadi.
Munculnya gerakan rakyat yang memadukan sentimen agama dalam bentuk-bentuk mobilisasi politik yang bersifat massal dan kolosal dengan aktor utamanya generasi yang berkarakteristik kompetisi bukan kolaborasi, menjadikan kekuatan politik islam itu tidak terbangun dalam satu agenda bersama untuk mensinergikan kepercayaan ideologis yang ingin diperjuangkan dan ini adalah konsekuensi dari heterogenitas internal di kalangan umat islam politik itu sendiri.
Berlakunya konsepsi desentralisasi otonomi daerah di era reformasi dalam kebijakan mengelola negara, yang ditandai dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan tujuannya secara konseptual, pelaksanaan otonomi tersebut dilandasi oleh tiga tujuan utama yang meliputi; tujuan politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi.
Namun dampak ikutan dari konsepsi otonomi daerah ini telah mendorong terjadinya perubahan gerakan dalam menegakkan syariat islam yang semula fokus pada upaya mengubah dasar negara dan sistem pemerintahan, menjadi gerakan daerah dengan instrumen mewarnai berbagai peraturan daerah yang lebih kental bobot syariat islamnya yang kemudian sering disebut dan dikenal dengan istilah Perda syariah sebagai ekspresi islam politik.
Bermunculan secara massif perda syariah ini, seolah mengobati keinginan dan kerinduan terhadap otentisitas keagamaan, selain tentunya untuk menggalang solidaritas identitas. Maraknya hal seperti ini harus dicermati dengan seksama, jika tidak terkendalikan justru akan kontra produktif dalam menjaga lanskape bersama kebangsaan dalam bingkai negara kesatuan republik indonesia.
Transformasi yang sangat panjang dalam perjalanan perkembangan islam di Indonesia, yang telah berkelindan dan diwarnai oleh kultur yang ada di bumi pertiwi ini, tidak mau dipahami dan dimengerti oleh sebagian kelompok islam politik.
Padahal itu adalah keniscayaan yang merupakan refleksi dari perjalanan politik sebuah negara tempat kaum Muslim itu hidup. Inilah konsekuensi demokrasi, jalan yang telah kita pilih bersama sebagai sebuah bangsa, dimana jalan demokrasi adalah sebuah jalan yang bisa dilewati siapa saja, dari yang berakal sampai yang bebal.
*Mengapa Politik Identitas Digunakan*
Filsuf Inggris Francis Bacon mengatakan bahwa “Pemujaan terhadap kelompok etnis mempunyai dasar di dalam sifat manusia sendiri, dan di dalam rumpun atau suku bangsa”. Dengan mengeksploitasi sikap konservatif yang tersembunyi di alam bawah sadar publik, dan menyampaikan berulang-ulang narasi kecemasan bahwa dalam kehidupan ini selalu sarat perasaan tidak aman dan penuh ancaman.
seperti misalnya saat ini di ranah politik yang diviralkan di sosial media, dengan menggunakan istilah asing dan aseng yang berupaya menguasai sumber daya negara, dan disisi lain membangun pesona publik atas suatu ide dengan mengaburkan sikap kritis dan akal sehat publik, maka orang cenderung mempertahankan wajah yang familier dengan ritual yang sama sebagai sebuah komunitas yang nyaman.
*Bahaya Politik Identitas*
Ketika gendang politik identitas dimainkan, di tengah keberadaan suku bangsa kita yang sangat beragam secara takdirnya itu, maka sangat berbahaya. Untuk merekatkan kembali kohesi sosial yang robek dan terluka adalah suatu pekerjaan yang sangat-sangat sulit.
Kita dapat belajar dari sejarah bangsa lain, misal konflik suku Tutsi dan suku Hutu di Rwanda Afrika tahun 1994. Ketika konflik politik identitas digerakkan, maka Suku Hutu sebagai suku mayoritas tidak hanya membunuh suku Tutsi yang minoritas, tetapi juga membunuh orang suku Hutu sendiri yang moderat, dengan estimasi korban mencapai ratusan ribu jiwa.
Atau kita juga bisa belajar dari peristiwa perang sipil di Srilanka antara suku Sinhala yang mayoritas beragama Budha, dengan suku Tamil minoritas yang beragama Hindu, kendati sebenarnya kedua etnik tersebut sama-sama berasal dari India, tetapi ketika gendang politik identitas ditabuhkan, maka dimulai sudah embrio tarian kebencian yang dimainkan. Perlu menjadi catatan dan pembelajaran kita bahwa perang sipil ini berlangsung hingga lebih dari 25 tahun, dengan jumlah korban mencapai puluhan ribu orang dari kedua suku tersebut.
Jadi menarasikan istilah politik identitas bukanlah suatu hal yang sepele, apalagi jika hal ini dilakukan hanya berbasis syahwat berkuasa semata, dan gagal menghitung dan mengkalkulasi dampak buruk yang akan ditimbulkannya.
*Politik Negara*
Untuk mengatasi penetrasi politik identitas, maka yang harus kuat adalah Politik Negara. Tindakan negara dalam merespon kegiatan suatu kelompok masyarakat yang meminggirkan peraturan dan ketentuan yang berlaku, haruslah dilihat dan dipahami sebagai sebuah langkah preventif atas gerakan yang dapat mengganggu kestabilan sosial. Negara haruslah menjamin dan memastikan bahwa dinamika kehidupan bangsa tetap dalam batas garis kontur konsensus nasional yang telah disepakati bangsa ini,
Karena itu, Jika berbagai gerakan dan manuver politik yang digunakan berbasis politik identitas dianggap sudah mendekati garis yang akan mengancam keutuhan negara, maka negara harus memberikan peringatan keras, sebelum terlanjur merobek persatuan.
Sehingga hal yang perlu dilakukan negara adalah mampu mengorganissir berbagai instrumen kekuasan yang dimiliki untuk dapat mengeliminir berbagai potensi yang akan mengancam kestabilan sosial yang dilakukan oleh orang dan atau oleh sekelompok orang warga masyarakat. Upaya preventif yang dilakukan haruslah dari awal saat potensi itu baru berupa isue dan putik dari tindakan orang dan atau sekelompok orang.
Disinilah peran intelijen yang cerdas, peka dan elegan, harus mampu memotret sekecil apapun riak-riak yang berpotensi merusak tatanan kestabilan sosial yang ada. Dengan demikian aktivitas pengelolaan negara sebagaimana idealnya negara demokrasi dan pemerintahan sipil dapat berjalan dengan baik.
Penulis: Dekan Fakultas Ekonomi Univ. Moestopo (Beragama), Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional