Jakarta, BIJAK
Sudah saatnya sekarang Presiden menginstruksikan Kapolri menggelar langkah pencegahan besar-besaran menutup peluang predator seks “memangsa” perempuan dan anak. Hal ini penting, mengingat Ibu sangat berperan menyiapkan anak sebagai generasi penerus.
Pemerhati kepolisian dan budaya, Suryadi, M.Si, dan akademisi UIN Sultan Hasanuddin (SMH) Serang, Banten, Dr. Ade Fartini, S.Ag., M.H mengungkapkan hal itu secara terpisah di Jakarta dan Serang, Banten, Jumat (2/7/21).
Dr. Ade Fartini adalah salah satu pemateri dalam Focus Group of Discussion (FGD) bertajuk “Mendorong Tumbuhnya Kelompok Peduli Lingkungan Rawan Kejahatan Terhadap Anak dan Perempuan” di Mapolda Banten, Serang. FGD ini digagas oleh Kapolda Banten, Irjen Pol. Dr. Rudy Heriyanto Adi Nugoroho, S.H., M.H., M.B.A. sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Hari Bhayangkara ke-75, dengan tujuan membentuk tim kecil perumus pembentukan percontohan Kelompok Peduli Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPPA).
Kampung pelopor berikut kelompok di dalamnya, usai FGD menjadi perbincangan serius narasumber Ade Fartini dan psikolog Dra. Psy. Entin Kurniatin Koswara dengan Suryadi, M.Si sebagai peserta. Mengetahui hal itu, Kapolda Irjen Pol Rudy melalui pesan singkatnya merespons positif dan meminta agar, “Ditindaklanjuti, terima kasih ya”.
Sebagaimana secara nasional, tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah hukum Polda Banten cukup tinggi. Data Ditkrimum Polda Banten menunjukkan, selama kurun 2019 hingga 2021 kini, telah terjadi 571 kasus. Sebanyak 458 kasus di antaranya adalah tindak pidana persetubuhan dan pencabulan terhadap anak di bawah umur. Selain itu, 98 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan 15 kasus tindak pidana kekerasan terhadap anak. Di sini juga terjadi pemerkosaan terhadap perempuan di bawah umur penyandang difabel dan disabilitas.
Secara nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengungkapkan, di tahun 2021, seperti dihimpun dari sistem informasi daring perlindungan perempuan dan anak, hingga 3 Juni terdapat 1.902 kasus dari total 3.122 kekerasan seksual. Tahun sbelumnya, tercatat 11.637 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Dari jumlah ini, kekerasan seksual adalah yang tertinggi dengan 7.191 kasus.
“Kekerasan seksual terhadap anak paling tinggi. Persoalan ini bagian yang harus kita waspadai,” imbau Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Nahar seperti dikutip Antara (4/6/21) dari sebuah diskusi di Jakarta, Jumat, 4 Juni 2021.
Sebelumnya (Jumat, 5 Maret 2021), Komnas Perempuan mengungkapkan, sepanjang 2020 terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Menurut Ketua Komnas Perempuan, Andry Yentriany seperti disirarkan Tempo.co (4/3/21), bentuk kekerasan yang paling menonjol di ranah pribadi adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31%), disusul kekerasan seksual 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28%), dan ekonomi 680 kasus (10%).
Di ranah publik, kata Yentri, paling menonjol kekerasan seksual, yaitu 962 kasus (55%) yang terdiri dari atas kekerasan seksual lain (tak disebutkan secara spesifik) dengan 371 kasus, diikuti oleh perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya 10 kasus percobaan perkosaan. Lebih memrihatinkan lagi terungkap, sepanjang 2020 tercatat 77 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas dan perempuan dengan disabilitas intelektual merupakan kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan, yaitu mencapai sebesar 45 persen.
Pembentukan Kelompok
Mengutip perumpamaan dari seorang psikolog, Suryadi mengemukakan, Ibu adalah perempuan pertama dengan degup jantungnya memperkenalkan (musik) kehidupan kepada anak.
“Ketika pertama kali menyusui, saat itulah Ibu memperkenalkan (musik) kehidupan kepada si bayi, apa pun jenis kelaminnya. Dengan kasih-sayang Ibu, si bayi bertumbuh. Nah, jika dalam pertumbuhannya si anak dimangsa predator seks, terganjal lah masa depannya,” urai Suryadi.
Akan pentingnya kepedulian keselamatan perempuan dan anak, Dr Ade Fartini mengingatkan, pada hakikatnya perempuan atau Ibu itu tiang negara, sedangan anak adalah generasi penerus bangsa.
“Maka, jika perempuan dan anak tidak mendapat perlakuan yang adil dari keluarga, lingkungan, dan masyarakat, apa yang terjadi pada bangsa ini?” Ade Fartini dengan risau mempertayakan.
Pertanyaan Ade dalam pandangan Suryadi, merepresentasikan kerisauan kaum Ibu sebagai madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anak. Jadi, langkah cegah dini (preemptif) atau pencegahan (pereventif) dibutuhkan secara terus-menerus sampai kapan pun, agar perempuan dan anak selamat dari predator “pemangsa” mereka.
Dari sudut tindakan hukum (represif), lanjut Suryadi, pasti Polri sudah banyak melakukannya di setiap kali ada (laporan) kejadian. Tetapi, kondisi sekarang ini sudah sangat memprihatinkan dan dibutuhkan langkah aktif pencegahan.
“Pencegahan jauh lebih penting dan harus diperbanyak, sejalan dengan prinsip polisi yang mengedepankan preemtif (sebelum potensi kejahatan terbangun) dan preventif. Represif itu kan yang terakhir di saat sudah terjadi,” urai Suryadi.
APBN dan APBD
Upaya-upaya preemptif dan preventif, Suryadi mengingatkan, memang memerlukan pelembagaan sealur dengan kontinuitas kehidupan yang terbina dan terlatih dengan baik di tengah-tengah lingkungan pemukiman masyarakat.
Untuk itu, lanjutnya, keterpaduan beberapa pihak, menjadi tuntutan yang tak terelakkan agar kelak yang terbentuk bukan sekadar kelompok konko-konko belaka. Utuk itu, kata Suryadi, selain unsur masyarakat itu sendiri, juga dibutuhkan peran utama Kemendagri, Kementerian Agama (Kemenag), dan Kementerian Pendidikan, Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbud Riset Dikti), dan Kemen PPPA.
Keterkaitan dengan Mendagri, urai Suryadi, berarti melibatkan gubernur, bupati, dan wali kota. Mereka dengan aparat yang ada sampai di tingkat kelurahan/ desa memiliki kewenangan meliputi monitoring, pembinaan, dan adminsitratif baik yang menyangkut kewilayahan, kependudukan, maupun penganggaran (APBN dan APBD).
Selain itu, juga diperlukan pelibatan Menteri Agama dan Mendikbud Risetdikti berikut aparatnya sesuai kewenangan bidang masing-masing di daerah-daerah.
Dengan pelembagaan dan pembinaan yang terus-menerus, Suryadi mengingatkan, instansi mana pun yang memiliki anggaran terkait PPA, tak hanya aktif mengumpulkan data dan memaparkannya dari seminar ke seminar .
Kalau tidak diikuti langkah pelembagaan, lanjut Suryadi, usai diskusi setajam apa pun, selesai pula sampai disitu saja. “Mungkin saja sudah terbentuk kelompok apa pun namanya, tapi keberlanjutan aktivitasnya yang efektif bagi pencegahan, patut dipertanyakan. Memang, tidak satu faktor penyebab terus terjadinya kekerasan itu. Di situlah kelompok diperlukan,” kata Suryadi.
Editor: Red