Jakarta, BIJAK
Bangsa Indonesia harus mewaspadai jebakan politik “cari muka” agar Presiden Jokowi mau maju untuk periode yang ketiga pada Pilpres 2024. Pecinta otoritarian bersama para oportunis kini sedang memanfaatkan rakyat yang mereka pikir frustrasi di tengah kondisi sulit, untuk “membuat kiamat” demokrasi.
Pengamat budaya, Suryadi, M.Si, Rabu (23/6/21) di Jakarta mengatakan, gerakan mendesak agar Jokowi mau dipilih kembali untuk yang ketiga kalinya, cuma kedok. Sebenarnya, mereka sudah tahu bahwa Jokowi tidak akan mau, mengingat pasti bertentangan dengan UUD 1945 yang 23 tahun terakhir telah empat kali mengalami perubahan.
Pasca dimulainya reformasi 1998, tepatnya tanggal 13 November 1998, terbit TAP MPR No. XIII/MPR/1998 tahun 1998 yang mengatur periodesasi jabatan Presiden. Diikuti kemudian oleh perubahan UUD 1945, khususnya Pasal 7 yang mengatur Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.
Dalam acara yang dikemas sebagai Syukuran Sekretariat Jokpro, hari Sabtu (19/6/21), relawan Jokpro resmi mendeklarasikan Komunitas Jokowi – Prabowo 2024 atau Jokpro 2024. Program utama kelompok ini, melakukan upaya mendukung kembali pencapresan Jokowi untuk ketiga kalinya pada Pilpres 2024, berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Mengutip pernyataan tokoh mahasiswa yang terlibat langsung mempersiapkan dan menggelar agenda-agenda Reformasi pada 1998, Dr. Usmar (Selasa, 22/6/21), Suryadi mengatakan, sebagi sekadar wacana atau sebuah diskursus yang digulirkan dalam konteks kebebasan beropini, isu Presiden tiga periode, tentu saja tidak menjadi masalah.
Akan tetapi, ia juga sependapat, ketika wacana itu diwujudkan dengan berbagai upaya untuk merealisasikannya, antara lain nyata-nyata membentuk barisan relawan, sampai masuk ke dalam wilayah kebebasan berekspresi, tentu saja hal itu sudah berubah menjadi gerakan politik.
Menanggapi Presiden didesak maju kembali yang ketiga kali pada Pilpres 2024, Presiden Jokowi tegas menyatakan, “Saya adalah produk pemilihan langsung berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi. Posisi saya jelas, tak setuju dengan usul masa jabatan Presiden tiga periode”.
Bahkan menurut Jokowi, usulan dan wacana tersebut mempunyai tiga makna, yaitu: “Satu, ingin menampar muka saya. Yang kedua, ingin cari muka. Yang ketiga, ingin menjerumuskan saya. Itu saja”
Harus diakui, bandul otoritarian bergerak ke arah demokrasi telah dimulai sejak reformasi 1998, seiring mundurnya rezim represif Orde Baru, berjalan sangat lamban.
Bahkan, menurut Suryadi, sampai saat ini demokrasi baru sampai pada tataran prosedural dan cuma ramai ketika datang musim pemilihan (Pileg, Pilpres, Plkada, bahkan Pilkades). “Atau ada agenda kepentingan lainnya,” tambah Suryadi.
Sementara rakyat dipertontonkan perilaku banyak politisi dan pejabat yang tak patut diteladani, termasuk terlibat dalam perbuatan merugikan keuangan negara alias korupsi.
Dalam berdemokrasi, lanjutnya, masih banyak politisi yang kekanak-kanakan. Maka wajar jika rakyat niredukasi politik, kemudian kehilangan sosok teladan, dan boleh jadi terkesan malah disorientasi.
“Alhasil politisi dan rakyat sama-sama tak dewasa berdemokrasi, kecuali sekadar menikmati kebebasan belaka, rakyat dapat ampas atau residu politik saja. Celakanya lagi, diperunyam oleh perbaikan ekonomi dalam dua tahun ini, yang menghadapi tantangan amat berat akibat serbuan pandemi Covid-19, di samping hal-hal lain,” urai Suryadi.
Para pecinta otoritarian menduga, kondisi semacam itu telah membuat rakyat frustrasi. “Maka, mereka melihat yang paling tepat digandeng untuk memanfaatkan frustrasi rakyat adalah kaum oportunis yang senantiasa siap menjadi bunglon dalam iklim politik apapun,” kata Suryadi.
Mendesakkan agar Jokowi mau maju kembali untuk ketiga kalinya pada 2024, jelas cuma kedok belaka. Sebab, lanjut Suryadi, sesungguhnya mereka itu sudah tahu, meski didukung oleh para Jokower bersama Parpolnya, yang punya diri tetap tak akan mau maju lagi.
Jadi, kata Suryadi, sebenarnya memang ada agenda tersembunyi di balik desakan mereka itu. Bagi mereka, kalau Jokowi tidak mau maju lagi, tidak apa-apa, asalkan Pasal 7 UUD 1945 dapat diubah lagi memenuhi kepentingan mereka.
“Target mereka itu membongkar lagi pasal-pasal UUD 1945 sehingga ada Pasal yang membolehkan seseorang Presiden yang sudah dua periode bisa maju kembali untuk periode yang ketiga,” ujar Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) itu.
Ketika target itu kemudian gol, lanjut Suryadi, maka kekuasaan berada ditangan mereka yang berpandangan kekuasaan adalah utama dan segala-galanya, demi terpenuhinya syahwat berkuasa suka-suka.
“Bagi mereka itu, kekuasaan untuk melakukan apa saja, termasuk selama berkuasa mengubah lagi UUD 1945, sehingga akan ada pasal yang mengatur bahwa Presiden bisa dipilih berkali-kali. Kemudian, tinggallah Pemilu yang sekadar formalitas belaka,” urai alumni Pasca Ilmu Politik Universitas Nasional (Unas) itu.
Kalau sudah begitu, menurut Suryadi, gampang untuk kembali ke zaman sebelum 1998. Bahkan, boleh jadi lebih “canggih” lagi. Rakyat, selalu dibuai-buai dengan ketersediaan macam-macam kebutuhan diikuti kemurahan harga-harga. Padahal, sebenarnya berbagai subsidi itu mayoritas sangat menguntungkan mereka.
“Sebagian besar subsidi-subsidi itu bersumber dari rakyat juga, dan ternyata yang sebagian besar menikmati sesungguhnya adalah mereka juga. Ini berbahaya, bukan sejarah yang terulang, tapi kita tidak mempelajari sejarah sehingga yang penting gampang didapat. Padahal, ini cuma jangka pendek,” urai Suryadi.
Untuk itu, Suryadi mengimbau, mahasiswa sebagai kekuatan moral dan mengekskalasikan perubahan harus bereaksi. Jika tidak, lanjutnya, maka keringat, darah, dan nyawa para pendahulu pada awal reformasi 1998, tersia-siakan.**