Jakarta, BIJAK
Permintaan Presiden Joko Widodo agar masyarakat teruslah mengkritik sekeras-kerasnya, hendaknya direspon dengan cerdas, sehingga menguntungkan kepentingan bangsa, bukan asal bunyi (Asbun) dan ada bikin puas pihak pengritik.
“Tidak diminta saja, kritiknya sudah tidak proporsional, lihat saja di media sosial (medsos),” kata Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Suryadi, M.Si, Ahad (14/2/21) di Jakarta.
“Maka, harus ada edukasi efektif yang tidak formalistik juga tidak elitis. Terpenting edukasi itu, mencerdaskan dan membuat si pengritik aman dari kemungkinan ditindak secara hukum dan tidak berbasis pada kebencian atau ‘hate speech’,” kata Suryadi.
Edukasi yang efektif, kata Suryadi, harus ditujukan bagi kepentingan pembanguan demokrasi.
Dengan edukasi semacam itu, harap Suryadi, siapa pun komponen bangsa ini mendalami bahwa KEBEBASAN BERPIKIR ITU BEDA DENGAN KEBEBASAN BEREKSPRESI, dan kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Bangsa ini, lanjutnya, memang ada keterlambatan ditinggalkan jauh oleh kemajuan teknologi informasi yang kental berciri mudah dan cepat.
“Sebagai manusia yang secara umum punya budaya kental lisan, katakanlah verbal, yang ditunjukkan oleh kebiasaan bergunjing, anak-anak bangsa ini sudah jauh-jauh tertinggal oleh kemajuan teknologi,” kata Suryadi.
Kebiasaan bergunjing, lanjutnya, saat ini telah membiak berkelindan dengan ketidakpuasan dan kebencian yang kemudian terfasilitasi oleh “teknologi cepat saji” dan melahirkan instanisme.
Ia mengingatkan, kebebasan mengkritik jika bersifat edukatif, prediktif, dan proporsional berbasis pada realitas fakta, akan positif bagi pembangunan demokrasi pada bangsa yang dua dasawarsa ini terbebas dari otoritarianisme.
“Kondisi itu sudah sempat terbiarkan dan menjadi kronis bak penyakit akut yaitu yang penting omong,” ungkap alumni Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional (Unas), Jakarta itu.
Suryadi menilai, langkah-langkah dan materi literasi yang dilakukan selama ini, harus diakui kalah berlomba dengan instanisme.
“Proses yang demikian itu, telah melahirkan manusia-manusia yang lebih mendahulukan tindakan termasuk “memainkan jari” dalam bermedsos-ria ketimbang mendahulukan pikir dan hati,” urainya.
Suryadi mengimbau, tindakan Pemerintah saat ini jangan bersifat mengomandoi tapi merangkul semua potensi masyarakat untuk terlibat dalam edukasi kritis yang efektif, untuk menghasilkan masyarakat yang produktif oleh masyarakat sendiri.
“Jadi, konkret dan tidak ngawang-ngawang omong-omong melulu. Orang yang banyak nganggur itu, bisa terpicu jail tergantung ke arah positif atau negatif magnitudenya,” Suryadi mengingatkan.**