Jakarta, BIJAK
Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Agus Surono, mencermati terkait pemberitaan di sebuah Majalah Edisi minggu ini soal “Bancakan Bansos Banteng” yang proses hukum penyidikannya terkait kasus bantuan sosial yang hingga saat ini masih berlangsung. Menurutnya, media harus menerapkan Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Prudent (kehati-hatian) dalam pemberitaan kasus dugaan tindak pidana.
“Pemberitaan di majalah terkemuka minggu ini “Bancakan Bansos Banteng” tidak boleh melanggar asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah) sebagai wujud “due process of law” dalam penegakan hukum pidana,” ujar Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Agus Surono, Rabu (27/1/2020).
Ia menyebutkan bahwa adanya media massa yang memberikan opini mengenai informasi yang diangkat dengan menerapkan prasangka bersalah dan menurunkan berita yang belum dikonfirmasi sebelumnya (cover both side) menjadi akar dan biang terjadinya penghakiman (trial by the press) dan merupakan pelanggaran terhadap hak tersangka atau bahkan pelanggaran terhadap hak-hak pihak-pihak yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa pidana tersebut.
Diketahui, landasan yuridis asas praduga tak bersalah dalam memberitakan peristiwa dan opini, secara tegas diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pers yang berbunyi: “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.”
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Pers menyebutkan bahwa: “Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.”
Berdasarkan UU Pers tersebut, Agus juga menyebutkan bahwa implementasi asas praduga tidak bersalah ini harus diberlakukan dalam memberikan pemberitaan yang tidak menghakimi seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana, atau bahkan kepada pihak-pihak manapun juga yang tidak atau belum ada suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“Pelanggaran asas presumption of Innocence (praduga tak bersalah) yang terjadi karena kekeliruan informasi dari narasumber, dapat mengakibatkan terjadinya trial by press yang dapat menggiring masyarakat untuk memiliki keyakinan yang belum dibuktikan oleh pengadilan, dan belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan mengakibatkan terserangnya hak tersangka,” tegasnya.
Ia mengungkapkan, kemudahan penggunaan ruang publik (public sphere) saat menyampaikan laporan karya jurnalistik harus dilakukan dengan bertanggungjawab sebagai bentuk masyarakat yang taat hukum.
“Kebebasan pers (a freedom of the press) dalam perspektif pers Indonesia diterjemahkan sebagai kebebasan absolut, padahal sebenarnya kebebasan itu dibatasi oleh hak orang lain yang harus mendapat perlindungan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” jelasnya.
Pemberitaan yang dilakukan oleh media massa itu pula terikat oleh Kode Etik dan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
“Pers nasional harus dapat melaksanakan fungsi, asas dan kewajibannya secara profesional dengan terbebas dari campur tangan pihak manapun, termasuk pemilik pers sendiri demi tercapainya pemberitaan yang faktual,” pungkasnya.
Penulis: Deddy Haryadi